Perhelatan pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) 2019 tinggal menghitung hari. Di balik hiruk pikuk kampanye pileg dan pilpres terutama, tersembul kekhawatiran, terutama soal “keamanan” data. Sebab, secanggih apa pun teknologi informasi (TI), selalu ada peluang untuk di-hack alias diretas.
“Semua orang menaruh perhatian ke sana (pilpres 2019). Pusat perhatian ke pilpres. Begitu jadi pusat perhatian, itu adalah target yang sangat baik. Siapa pun yang berhubungan dan berkepentingan menjadi target,” tutur Territory Channel Manager SEA Kaspersky Lab Indonesia, Dony Koesmandarin.
Menurut Dony, kemungkinan ada orang-orang yang berniat buruk, membayar hacker atau peretas untuk melakukan serangan siber, membobol data pilpres 2019. Motif ekonomi menjadi alasan peretas untuk memanipulasi data. Mereka bak tentara digital bayaran.
Kekhawatiran terhadap serangan siber yang bisa mengacaukan data pilpres 2019 muncul berdasar pengalaman pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) 2016 yang dimenangi Donald Trump. Padahal, dalam jajak pendapat dan polling sebelumnya, Donald Trump selalu kalah dari rivalnya, Hillary Clinton.
Analisis mendalam dan teliti tentang aktivitas online selama kampanye di AS memunculkan dugaan kuat yang menargetkan serangan siber oleh peretas dan troll dari Rusia yang menentukan hasil pemilu. Sayang, dugaan ini sulit dibuktikan sehingga hanya menjadi sebuah teori konspirasi. Trump menolak gagasan campur tangan Rusia memengaruhi hasil pemilu di AS tahun 2016, dan menyebutnya sebagai “cerita yang dibuat-buat,” “konyol,” dan “hoax.”
Kembali ke pilpres 2019, Direktur Deteksi Ancaman Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Sulistyo, menjelaskan setidaknya ada kekhawatiran tiga jenis serangan siber. Pertama, serangan siber berupa peretasan yang menyerang infrastruktur.
Kedua, serangan siber yang berkaitan dengan kebocoran. Kebocoran ini biasanya merupakan kesalahan penanggung jawab keamanan siber di Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) yang bisa dimanfaatkan oleh peretas. Namun, tidak hanya di KPU dan Bawaslu, kebocoran data juga bisa terjadi atas dua pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Ketiga, setelah membobol data sensitif milik kandidat lalu mengolahnya sedemikian rupa atau memelintirnya guna mendegradasi figur mereka, peretas melakukan black campaign dan mengamflikasinya dengan menggunakan jariangan media sosial.
Perkuat Jaringan
Berdasar para ahli teknologi informasi, kerugian ekonomi dari serangan siber digolongkan atas tiga kategori kunci. Pertama, direct loss, yakni kerugian yang berhubungan langsung dengan pembobolan siber dan akibatnya secara langsung. Kedua, indirect loss, yakni biaya peluang bagi organisasi, termasuk kerugian yang muncul akibat dari respon sesudah pembobolan. Ketiga, induced loss, yakni dampak negatif yang lebih besar pada ekosistem dan ekonomi yang lebih luas.
Itu baru kerugian dari sisi ekonomi, tidak bisa dibayangkan dampak dari serangan siber ini dari sisi politik, pertahanan, dan keamanan negara. Apalagi jika serangan siber ini sampai mampu memanipulasi data pilpres 2019. Konsekuensinya sungguh mengerikan karena legitimasi presiden terpilih jadi lemah. Dikhawatirkan akan terjadi chaos antarkedua pendukung, konflik horizontal, kekosongan pemerintahan.
Sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas suksesnya pileg dan pilpres 2019, KPU dan Bawaslu dibantu BSSN mesti memperkuat jaringan dan kemampuan perangkat teknologi informasi agar tak bisa diretas oleh oknum-oknum yang punya tujuan menimbulkan kekacauan dan gangguan keamanan di Indonesia sebelum maupun pascapilpres 2019 ini.