Perhelatan pemilihan presiden (pilpres) 2019 dipastikan tak akan penuh kejutan. Detik-detik mendebarkan justru terjadi pada proses pembentukan pasangan yang akan beradu gelanggang. Publik menyaksikan, dengan berbagai kemungkinan skenario yang muncul, akhirnya pilpres 2019 diikuti oleh dua pasangan calon saja. Joko Widodo sebagai petahana berpasangan dengan K.H. Ma’ruf Amin, sang Ketua MUI, “melawan” Prabowo Subianto yang akan berduet dengan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Salahuddin Uno.
Di antara sekian banyak kejutan, majunya Sandiaga adalah yang paling mengagetkan. Betapa tidak, sebelumnya Prabowo telah diproyeksi akan berpasangan dengan nama-nama lain yang lebih kondang, mulai dari Ustadz Abdul Shomad, Zulkifli Hasan, Ahmad Heryawan, Salim Segaf Al-Jufri, hingga Agus Harimurti Yudhoyono.
Tak hanya itu, Prabowo sempat digadang-gadang tak akan maju sebagai calon presiden (capres) sebagai akibat tawar menawar posisi yang sengit dengan partai-partai pendukungnya. Nama Prabowo sempat tenggelam oleh Gatot Nurmantyo, Jusuf Kalla, hingga Anies Baswedan. Namun, yang terjadi adalah, pada batas waktu akhir pendaftaran, publik dikejutkan dengan naiknya nama Sandi, yang dilaporkan mengajukan surat pengunduran diri sebagai wakil gubernur DKI Jakarta hanya sesaat sebelumnya.
Apakah sebegitu misterius dan canggihnya setingan drama pengecoh itu? Sebenarnya tak terlalu sempurna juga. Sebelum memutuskan maju sebagai calon wakil presiden (cawapres) mendampingi Prabowo, ada sebuah kejadian menarik yang memperkuat dugaan majunya Sandi. Tak lain adalah aksi borong saham perusahaan media Tempo secara private placement sebesar ratusan miliar untuk porsi 5% saham.
Walaupun yang mengeksekusi adalah perusahaan Fintech bernama Paytren, publik telah memahfumi bahwa sang bos perusahaan adalah pendakwah kondang Yusuf Mansyur yang telah lama dikenal publik merupakan sobat kental Sandi.
Proses Rumit
Banarkah seperti itu? Sampai saat ini belum ada konfirmasi dari pihak terkait. Namun, menyoal taktik, dari pihak Prabowo terlihat begitu kentara bahwa sosok Sandi akan dikemas secara milenial.
Ia akan diberi embel-embel sebagai jawaban kebutuhan Indonesia akan pemimpin muda bertalenta, berotak encer, berwawasan luas, dan jauh dari primordialisme, serta yang paling penting seorang pemimpin yang telah terlebih dahulu memiliki kekayaan besar. Hal ini untuk menunjukkan kepada publik Indonesia bahwa orang muda dengan profil seperti Sandi-lah yang cocok untuk mendampingi Prabowo, yang memang diprediksi akan banyak bergelut dengan ekonomi kerakyatan.
Di sisi lain, publik Indonesia juga diperkirakan akan mendapat gempuran informasi negatif terkait sepak terjang Sandi selama menjadi pebisnis, mulai dari kasus tukar guling tanah yang mengundang kontroversi, keberadaan namanya dalam skandal pajak Panama Papers, hingga aksinya sebagai manajer investasi kawakan yang banyak bersilang sengketa dengan banyak pengusaha kondang Tanah Air.
Dan akhirnya pun benar adanya. Belum selesai napas dalam mendeklarasikan pencalonannya, serangan atas Sandi pun dimulai. Beredar di media massa maupun sosial bahwa dia telah memberikan mahar senilai masing Rp 500 miliar kepada para partai pendukung Prabowo. Pemberian dana itu disinyalir pihak-pihak penyerangnya sebagai wujud terima kasih bahwa para partai itu telah legowo untuk tidak memaksakan calonnya sebagai pendamping Prabowo dan ikut dalam sebuah strategi pengelabuan yang ciamik.
Benarkah seperti itu? Sampai sekarang belum ada jawaban resmi. Namun, publik nasional yang telah teredukasi mencermati adanya keanehan. Jika benar telah terjadi praktik “money politic” dalam proses prapilpres ini, kenapa aksi itu tak terendus oleh Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK)?
Hal ini dimungkinkan karena Sandiaga masih sebagai wakil gubernur ketika proses pemilihan pasangan capres sengit berlangsung. Jika pun ada pembayaran sebesar Rp 500 miliar secara tunai, apakah pihak-pihak yang menuduh bisa membuktikan secara fisik keberadaan uang tersebut?
Jika tidak bisa dibuktikan, justru isu ini akan sangat kontraproduktif bagi pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin. Isu sensitif tersebut akan berpotensi berbalik menyerang sehingga akan memunculkan pertanyaan serupa oleh publik. Jangan-jangan, justru pihak yang melakukan hal tersebut adalah lawan Sandi.
Lagipula, secara kasat mata begitu terlihat tak akan mudah menyatukan sembilan parpol besar untuk mendukung pasangan yang diketahui publik Tanah Air bukan merupakan individu yang memiliki aset kekayaan yang luar biasa. Apalagi jika dibandingkan perhelatan pilpres periode sebelumnya. Ketika itu Jokowi begitu percaya diri didampingi oleh Jusuf Kalla yang dikenal luas sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia. Teramat jelas, Jusuf Kalla bukan merupakan pembanding sepadan Ma’ruf Amin dalam hal kepemilikan aset kekayaan.
Apakah dalam hal ini, Sandi akan berperan seperti halnya Jusuf Kalla ketika mendampingi Jokowi pada perhelatan pilpres 2014? Tak ada yang berani memastikan, tetapi tak juga yang berani membantah. Walaupun secara kumulatif kekayaan Sandi tak sebesar Jusuf Kalla, dengan sepak terjang putra dari Mien Uno di dunia investasi, banyak pihak memperkirakan bahwa ia tak akan kesulitan untuk mencari “utangan” untuk membiayai proses pertarungan di kancah pilpres 2019.