Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi pembicara kunci pada Institute for Societal Leadership Summit 2017 di Singapore Management University, Bras Basah, Singapura, Jumat (6/10). Pertemuan tersebut dilaksanakan dalam rangka merayakan 50 tahun berdirinya Association of Southeast Asian Nations (ASEAN).
Demikian siaran pers Chief Communication Officer The Yudhoyono Institute (TYI), Ni Luh Putu Caosa Indryani, Minggu (8/10). Acara dihadiri mantan Perdana Menteri Singapura Goh Chock Tong, Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan, Ketua Singapore Management University Ho Kwon Ping, Ketua Institute for Societal Leadership Ratan Tata, Presiden dari Singapore Management University Arnoud De Meyer, dan Direktur Eksekutif Institute for Societal Leadership Martin Tan.
Direktur Eksekutif TYI Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) juga turut hadir. Selain itu, para duta besar, pejabat pemerintahan, pemimpin NGO dan para pelaku dunia bisnis mewakili negara, organisasi, dan perusahaanya masing-masing.
SBY berpidato tentang kepemimpinan di ASEAN bertajuk “Let’s We Forget: Historical Leadership Moments in ASEAN”. Dalam pidatonya, SBY memandang bahwa ke depan ASEAN akan menghadapi berbagai tantangan. Hal tersebut dilandasi oleh lanskap politik dunia yang mulai berbeda. Oleh karena itu SBY mengimbau para pemimpin ASEAN harus terus mencari titik tengah untuk memenuhi kepentingan negaranya, dan kepentingan untuk ASEAN.
”Lanskap politik sudah mulai berbeda saat ini, tidak hanya di dalam kawasan tapi di seluruh dunia. Pemimpin harus terus mencari titik keseimbangan dalam memenuhi kepentingan negaranya, dan kepentingan untuk ASEAN. Titik keseimbangan tersebut tidak akan tercapai tanpa adanya kepemimpinan yang baik,” kata SBY.
SBY menjelaskan, seorang pemimpin harus lihai dan tahu batasan dalam melihat kondisi tertentu untuk menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dalam berdiplomasi. Hal tersebut dicontohkan dengan keberhasilan pemerintah Indonesia pada masa kepemimpinannya.
Misalnya, meredam eskalasi konflik perbatasan antara Thailand dan Kamboja tahun 2008 melalui diplomasi secara tertutup. ”Saya memastikan bahwa peran Indonesia di saat itu terlaksana di belakang layar. Ketika Anda bertanya mengapa diplomasi itu berhasil, jawaban saya adalah karena ada rasa percaya yang cukup antara Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejjajiva dan Perdana Menteri Kamboja Hu Sen terhadap saya dan Indonesia,” ungkapnya.
Memperingati 50 tahun berdirinya ASEAN, SBY berharap ASEAN harus terus berkembang agar tetap relevan. Baginya, pemimpin negara yang tergabung di ASEAN harus dapat menstimulasi dan merancang adanya kerja sama yang baik antar anggota ASEAN. Kedua hal tersebut berperan penting dalam menjaga kekokohan serta mendorong ASEAN ke arah yang lebih baik.
”ASEAN harus terus berkembang agar terus relevan. Kooperasi, kerja sama dan transaksi antara sepuluh anggota akan menjadi energi yang mendorong ASEAN. Para pemimpin ASEAN harus dapat merangkul dan menstimulasi hal tersebut,” tandasnya.
Source: Berita Satu