Kata ‘rawan’ menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti mudah menimbulkan gangguan keamanan atau bahaya.
Sementara Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memaknai kerawanan pilkada sebagai segala hal yang berpotensi mengganggu atau menghambat proses pemilu yang demokratis. Kerawanan ini dilihat Bawaslu dari berbagai variabel, seperti tantangan geografis, kekerasan terhadap pemilih, konflik antar peserta, netralitas penyelenggara, kasus hukum dan lain sebagainya.
Kepada BBC News Indonesia, Kementerian Dalam Negeri pun menyebut nama sejumlah daerah yang dianggap paling rawan selama Pilkada, merujuk pada hasil penelitian Bawaslu.
Papua
Provinsi paling timur Indonesia ini kerap kali masuk dalam daftar daerah rawan saat penyelenggaraan Pilkada.
Berdasarkan data Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), sejak 2010 sampai 2014, sebanyak 71 warga tewas saat perhelatan pesta demokrasi di berbagai kabupaten di Papua.
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Bahtiar, mengungkapkan tahun ini Kabupaten Paniai dan Mimika adalah daerah yang paling perlu mendapat perhatian khusus.
“Di Paniai, masih ada sengketa terkait daerah pencalonan. Satu pasangan calon juga digugurkan KPU sehingga tinggal satu yang berlaga.
“Kemudian di Mimika, juga masih ada sengketa pencalonan. Calon menggugat, padahal sudah dekat Pilkada,” cerita Bahtiar.
Anggota Majelis Rakyat Papua, Joram Wambraw, mengakui besarnya potensi konflik saat pilkada di daerah-daerah tersebut.
“Ada warga yang salah paham, yang melihat pilkada sebagai peperangan,” kata Joram kepada BBC News Indonesia.
“Dan itu mereka merasa harus menang. Ada kelompok kecil yang bisa dipakai buat kericuhan itu.”
Dia pun menambahkan bahwa kondisinya bisa jadi semakin buruk karena masyrakat di daerah pegunungan seperti Paniai dan Mimika, masih memiliki tradisi perang suku.
Tradisi ini dinilai Joram bisa dimanipulasi kelompok tertentu, “Sehingga jika calon yang didukung tidak lolos atau menang, bisa jadi awal sumber konflik, perang suku.”
Dia pun menyarankan pihak keamanan, KPU dan Bawaslu untuk merangkul masyarakat adat sejak dini, meskipun tetap sanksi cara itu akan efektif.
“Soalnya itu sudah dirangkul saja, masih sering kecolongan. Misalnya kantor KPU saja di daerah Mamberamo baru aja di bakar, April lalu karena ada calon yang digugurkan KPU.”
“Kesiapan warga untuk menang atau kalah, dan kalau kalah harus legowo, itu belum ada… Pemahaman warga soal pemilu masih kurang,” tutupnya.
Dengan melihat kondisi masyarakat Papua, Kepolisian Daerah (Polda) Papua telah meminta bantuan pengamanan 700 personil tambahan dari Polda Papua Barat dan Korps Brigade Mobil Kelapa Dua, Depok. Selain itusekitar 3.000 personil pasukan TNI juga akan ikut membantu.
Sumatra Utara
Kemendagri menyatakan Provinsi Sumatera Utara (Sumut) masuk ke dalam daftar daerah rawan saat Pilkada, karena memiliki dua pasangan calon gubernur-wakil gubernur.
“Memang biasanya kalau tinggal dua pasangan calon, maka fanatisme pendukungnya jadi tinggi,’ kata Kapuspen Kemendagri, Bahtiar, kepada BBC News Indonesia.
Kepolisian Republik Indonesia juga menjadikan Sumut sebagai satu dari lima daerah rawan, karena ‘merupakan salah satu daerah paling padat penduduk’ di Indonesia. Provinsi ini ditinggali hampir 14 juta jiwa.
Pemilihan calon gubernur dan wakil gubernur Sumatera Utara diikuti pasangan Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah dengan nomor urut satu, dan di nomor urut dua: Djarot Saiful Hidayat-Sihar Sitorus.
Ketegangan di masyarakat jelang pencoblosan diakui oleh Feby Grace Hutajulu, seorang praktisi ilmu komunikasi asal Medan, yang aktif di berbagai kegiatan sosial-kemasyarakatan di kota itu.
“Waktu kita kemarin jalan-jalan ke (Danau) Toba. Di jalan melewati beberapa kabupaten, itu kelihatan berbeda suasananya, terlihat dari spanduk-spanduknya.
“Kalau kita masih di daerah yang banyak orang Melayu, daerah yang mayoritas Muslim, yang banyak itu spanduk calon nomor urut satu. Kalau sudah masuk ke daerah orang-orang Batak, ke Toba, Samosir, itu sudah mulai spanduk-spanduk Djarot dan Sihar, yang nomor dua,” cerita Feby kepada BBC News Indonesia.
Lebih jauh lagi, Feby merasakan kontestasi politik tersebut “hampir membuat teman-temannya terbelah”.
“Memang tidak seekstrim di Jakarta masalah ras atau agamanya. Tetapi (di Medan) laten begitu. Orang tidak mengakui secara terbuka kalau mereka memang memilih berdasarkan agama atau etnis. Jadi, kami mungkin terbelah, tetapi nggak dikasih lihat.”
Meskipun provinsinya masuk dalam daerah rawan, Feby menyebut orang-orang Sumut yang ‘cenderung lebih toleran’ membuat konflik terbuka terkait Pilkada, sejauh ini, jarang terjadi.
“Kami kan memang beragam sekali. Untuk topik sensitif begini, orang rata-rata nggak mau mengangkatnya ke permukaan. Misalnya si A, kita tahu dia bakal milih siapa. Tetapi kalau lagi bareng, jarang yang mau omongin soal itu, daripada nanti jadi debat panjang,” tutur Feby.
Untuk mengamankan Pilkada, Polda Sumut pun mengerahkan 18.000 personel atau tiga perempat dari total aparat polisi di provinsi itu. Mereka akan diturunkan di seluruh 33 kabupaten dan kota di Sumatera Utara.
Kalimantan Barat
Selain Sumatera Utara, Kalimantan Barat juga masuk ke dalam daftar daerah rawan saat Pilkada 2018 karena potensi konflik berbau SARA.
“Ini pemetaan. Saya kira Kalimantan Barat ini menarik 68% pemilih muslim, tetapi kemarin yang jadi gubernur kebetulan agamanya Katolik dan wakilnya Kristen. (Pilkada) sekarang (juga) cukup keras, apalagi juga ada kelompok masyarakat Dayak di Kalbar,” kata Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Pada pemilihan gubernur dan wakil gubernur kali ini, ada tiga kandidat yang akan bersaing. Mereka berasal dari latar belakang dan pengalaman politik berbeda.
Pasangan calon (paslon) nomor urut satu, dengan calon gubernur (cagub) Milton Crosby adalah mantan Bupati Sintang sepanjang periode 2005 hingga 2015 dan dia berasal dari suku Dayak.
Sementara paslon nomor urut dua dengan cagub Karolin Margret Natasa adalah seorang Katolik dari suku Dayak. Adapun yang terakhir, Sutardmidji merupakan seorang Melayu-Muslim, yang menjabat Wali Kota Pontianak periode 2008-2013 dan 2013-2018.
Kepada BBC News Indonesia, anggota Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu), Mochammad Afifuddin, mengungkapkan untuk menekan penggunaan isu SARA dalam kampanye, pihaknya telah meminta Bawaslu setempat “merangkul pimpinan agama dan suku” untuk menenangkan warga selama masa kampanye.
Meskipun begitu, dia menegaskan potensi konflik pilkada karena isu SARA di Kalimantan Barat tidak akan ‘seburuk di Jakarta’, karena di Kalimantan Barat warganya ‘lebih homogen dan isunya tidak meluas’.
“Tidak ada kerawanan kenaikan isu SARA yang eskalasinya secepat (di Jakarta) kemarin ya. Karena perhatian masyarakat soal ini, jadi isu nasional juga.”
Afifuddin mengklaim isu SARA tidak akan memanas pada Pilkada Jakarta lalu jika dilakukan ‘pencegahan lebih awal’.
“Kasus Jakarta pun kita jadikan wake-up call untuk berhati-hati dan memberikan perhatian pada daerah, termasuk Kalbar saat Pilkada. Dengan pemetaan daerah rawan, lalu pencegahan dengan merangkul tokoh suku dan agama, kita bisa lihat, meskipun di Kalbar rawan, sampai sekarang masih aman terkendali,” pungkas Afifuddin.
Polda Kalbar pun bersiap mengerahkan 11.642 personil di 11.658 tempat pemungutas suara (TPS), atau rata-rata satu polisi untuk setiap TPS.
Sulawesi Selatan
Selain karakteristik warga Sulawesi Selatan yang kerap dinilai keras, masuknya provinsi ini dalam daftar daerah rawan, disebut Kemendagri karena adanya ‘dinamika politik baru yang belum pernah terjadi sebelumnya’.
“Terutama di Kota Makassar. Sekarang cuma ada satu pasangan calon. Calon yang lainnya digugurkan. Jadi yang melaju akan melawan kotak kosong,” kata Kapuspen Kemendagri, Bahtiar.
Sebelumnya, kandidat petahana Mohammad Ramdhan Pomanto-Indira Mulyasari gugur sebagai calon wali kota dan wakil wali kota Makassar karena menyalahgunakan posisi mereka untuk menguntungkan diri dalam rangka Pilkada.
Keduanya disebut membagi-bagikan telepon genggam kepada RT/RW dan melakukan pengangkatan tenaga kerja kontrak jelang pemilihan wali kota dan wakil wali kota Makassar.
Digugurkannya pasangan inkumben inilah yang dikhawatirkan Kemendagri akan menyulut aksi massa menentang calon tersisa Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi.
Namun, sejumlah warga Makassar menilai penetapan Makassar dan Sulawesi Selatan sebagai daerah rawan tidak lagi relevan.
“Dalam konteks hiruk-pikuk, demonstrasi, sebenarnya tidak lagi kelihatan. Kemungkinan karena banyak regulasi yang membuat para calon tidak bisa dengan bebas melakukan hal-hal yang mereka inginkan, seperti pasang spanduk, mengerahkan massa dan lain sebagainya,” ujar pakar politik dari Universitas Hasanuddin, Sukri Tamma kepada BBC News Indonesia.
Selain itu, jarang terdengarnya unjuk rasa berujung kekerasan jelang pilkada Makassar, disebut Tamma karena tidak tertariknya mayoritas elit politik untuk mengambil posisi sebagai oposisi.
“Yang pertama, karena paslon yang melaju didukung semua partai politik, sehingga elit-elit partai yang sebenarnya adalah tokoh masayarakat, tak akan mau bicara dalam konteks oposisi. Hampir semua elit di Makassar yang berafiliasi, berada di satu gerbong sama, sehingga elit pemicu konflik jadi tidak banyak.”
Apalagi pasangan Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi, disebut Tamma, juga kuat dari sisi status sosial kemasyarakat.
Calon wali kota Munafri Arifuddin juga menjabat Presiden Direktur klub sepak bola PSM Makassar dan menantu dari pengusaha Aksa Mahmud, yang merupakan ipar dari Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Pendapat Tamma itu didukung oleh Fauziah Erwin, seorang warga Makassar yang merupakan advokat publik.
“Sejauh ini kalau kita lihat sejarah, belum pernah ada pemilihan wali kota yang berakhir kisruh di hari H. Masyarakat (Makassar) secara politik sudah mulai terdidik. Memang terus ada demo di Makassar. Misalnya bakar ban waktu kenaikan harga BBM. Padahal itu hanya di segelintir titik saja, tapi muncul sedemikian rupa di televisi seperti kejadian heboh banget.
“Padahal demo-demo seperti itu tidak ada pengaruh luar biasa kepada keadaan sosial kemasyarakatan kami,” kata Fauziah.
Jawa Timur
Sama seperti Sumatera Utara, pemilihan gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur masuk dalam daftar rawan karena hanya tersisa dua pasangan calon, di provinsi dengan jumlah penduduk besar.
Pada kontestasi tahun ini pasangan calon Khofifah Indar Parawansa-Emil Elistianto Dardak bersaing melawan Saifullah Yusuf (Gus Ipul)-Puti Guntur, untuk menjadi pejabat ‘Jatim 1’.
Anggota Bawaslu Mochammad Afifuddin menegaskan, meskipun Jawa Timur cenderung lebih homogen, bukan berarti potensi konflik mengecil.
“Apalagi secara hasil survei, selisih suaranya sangat tipis. Bahkan di bawah margin error. jadi undecided voter sangat tinggi. sehingga meski homogen, banyak santri-santri NU, tetap saja rawan.”
Berdasarkan survei yang diluncurkan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Jumat (22/06) lalu, pasangan Khofifah-Emil mendapat dukungan warga Jatim sebesar 48,5%, unggul tipis dari Saifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno dengan suara 40,8%.
Sementara Poltracking Indonesia, berdasarkan penelitiannya yang dikeluarkan, Sabtu (23/06) lalu, menyebut elektabilitas Khofifah-Emil berada di angka 51,8%, sementara Gus Ipul-Puti Guntur 43,5%.