Masyarakat Indonesia pada umumnya terkejut dengan insiden penusukan yang menimpa Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Wiranto. Namun, respon lebih serius justru datang dari para pelaku bisnis Indonesia.
Inilah yang dinyatakan oleh Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta, Sarman Simanjorang. Ia menilai, peristiwa penyerangan terhadap Wiranto di wilayah Menes, Kabupaten Pandeglang, Banten, pada Kamis lalu secara tidak langsung berdampak pada kepercayaan investor.
Banyak yang percaya pernyataan tersebut terlalu berlebihan, tetapi tak sedikit yang mengiakan. Apalagi belum lama ini Bank Dunia kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini dari 5,1% menjadi 5% dan tahun depan dari 5,2% menjadi 5,1%. Pemangkasan proyeksi pertumbuhan ekonomi tersebut diklaim seiring dengan kondisi ekonomi global yang makin tak pasti.
Yang menarik, Kadin melalui Sarman menyatakan bahwa meskipun efeknya tak begitu signifikan, insiden itu berpotensi membuat calon investor menilai bahwa Indonesia masih belum aman dari ancaman jaringan teroris. Sebab yang menjadi korban penyerangan adalah pejabat tinggi sekelas Menkopolhukam.
“Dunia usaha berharap agar aparat keamanan kita dapat segera menumpas jaringan teroris sampai ke akar akarnya sehingga negara kita bersih dari gangguan teroris agar para investor tidak ragu masuk menanamkan modalnya di Indonesia,” ujar Sarman dalam sebuah pernyataan tertulis, Sabtu (12/10/2019).
Menurut pria yang juga berposisi sebagai Ketua Umum DPD HIPPI Provinsi DKI Jakarta ini, investor sangat membutuhkan kepastian, keamanan, dan kenyamanan dalam berinvestasi. Indikator tersebut disebutnya harus dapat dipastikan kepada calon investor.
Sarman meneruskan, kehadiran investor menjadi satu-satunya harapan untuk dapat menopang pertumbuhan ekonomi dan ketersediaan lapangan kerja, di tengah kondisi perekonomian global yang rawan krisis dan tidak stabil. Terlebih, perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Cina yang berkepanjangan juga sangat berdampak pada perekonomian negara.
Sementara itu, Lead Economist Bank Dunia Indonesia Frederico Gil Sander dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Kamis (10/9/2019) menjelaskan perselisihan perdagangan yang berlanjut antara AS vs Cina dapat membebani pertumbuhan regional dan harga komoditas. Efek buruknya akan pertumbuhan ekonomi Indonesia dan juga neraca transaksi berjalan.
Dalam laporan Bank Dunia yang bertajuk East Asia and Pacific Economic Update edisi Oktober 2019, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih akan ditopang oleh konsumsi swasta. Kuatnya konsumsi swasta diperkirakan karena inflasi masih rendah dan pasar tenaga kerja yang kuat. Sayangnya, laporan itu tak berani membuka berapa persen kesempatan Indonesia untuk terus mengalami akselerasi investasi.
Kekhawatiran mengenai realisasi investasi pernah diutarakan pula oleh Kadin beberapa waktu lalu. Menurut Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional, Shinta W. Kamdani, pertumbuhan investasi pada semester I/2019 tidak seperti yang diharapkan para pengusaha.
“Realisasi pada kuartal 1 sebesar Rp 195 triliun. Untuk kuartal 2 saya rasa akan ada penurunan walau mungkin tidak sebesar penurunan dari kuartal 4/2018,” kata Shinta seperti dikutip Kontan, Selasa (30/7/2019).
Bila melihat kinerja dari awal tahun, Shinta memandang kemungkinan besar investasi akan tetap tumbuh, tetapi tidak ada lonjakan yang berarti baik dari dalam maupun luar negeri sebab pelaku pasar di semester I dalam keadaan wait and see dinamika politik nasional. Selain itu, pemerintah juga tidak berani mengeluarkan kebijakan yang secara substansial memengaruhi iklim kegiatan ekonomi karena kemungkinan adanya pergantian pemimpin.
Sayangnya, pendapata Shinta ini berbeda dengan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Lembaga ini mencatat realisasi investasi sepanjang semester 1/2019 tumbuh signifikan. Pertumbuhan investasi Januari-Juni 2019 mencapai Rp 395,6 triliun. Di lain pihak, lembaga penilai dunia seperti Moody’s atau S&P beberapa tahun belakangan memberikan confidence terhadap stabilitas Indonesia sebagai tempat yang baik untuk berinvestasi dibanding negara lain.
Dua kutub pandangan nan berbeda kepentingan dan persepsi ini tentu menjadi perhatian banyak pelaku usaha. Maklum, baik Kadin maupun BKPM adalah lembaga-lembaga yang menjadi indikator sehat atau tidaknya iklim berbisnis di Tanah Air. Jika kedua lembaga tersebut sudah sampai mengalami perbedaan, alhasil yang timbul adalah kebingungan para pelaku usaha.
Harus diakui, di tengah kekhawatiran atas efek penusukan Wiranto, optimisme masih membalut perekonomian negeri ini. Informasi dari Bank Dunia menyatakan, pada 2019, proyeksikan konsumsi swasta masih akan menjadi penopang dan tumbuh 5,2%. Meski pada 2020 akan menurun menjadi 5,1%, bakal kembali naik menjadi 5,2% pada 2021. Ini tentu berkebalikan dengan apa yang diutarakan oleh Kadin.
Selain swasta, konsumsi pemerintah akan berada di 5,1% pada 2019, meningkat dari 4,8% di 2018. Selanjutnya kembali meningkat sebesar 5,3% pada 2020 dan 5,4% pada 2021. Yang menarik, Bank Dunia masih positif atas proyeksi posisi fiskal Indonesia yang diperkirakan tetap membaik.
Berlawanan dengan optimisme Bank Dunia, Kepala BKPM, Thomas Lembong, malah menyebut bahwa penerimaan pajak pada 2019 ini berpotensi meleset dari target hingga Rp 200 triliun. Hal ini sejalan dengan pernyataan Direktur Jenderal Pajak, Robert Pakpahan pekan lalu bahwa akan terjadi shortfall (kekurangan) penerimaan pajak 2019.
“Kondisi APBN cukup ketat. Per hari ini kelihatannya outlook APBN 2019 itu kita mungkin kepeleset dari target penerimaan pajak sampai Rp 200 triliun,” kata Lembong di sela-sela sounding proyek Bandara Singkawang di Kantor BKPM, Jakarta, Senin (7/10/2019).
“Kita semua tahu bahwa kondisi ekonomi global lagi berat, APBN juga sangat ketat. Target penerimaan pajak cukup jauh, sulit, jadi kita harus kerja ekstra keras untuk menggandeng modal dari swasta untuk mendanai program infrastruktur ke depannya,” katanya.
Sebelumnya Dirjen Pajak, Robert Pakpahan mengungkapkan bahwa penerimaan pajak hingga September 2019 belum jelas. “Masih berat rasanya,” ujarnya Jumat (4/10/2019).
Menurutnya penerimaan pasti bergantung dengan kondisi ekonomi. Jika kondisi ekonomi buruk, tidak bisa dipaksakan. Robert juga mengakui akan ada kekurangan penerimaan pajak hingga 2019 atau shortfall, meski belum berani memproyeksikan.
Sebagaimana diketahui, tahun ini pemerintah menargetkan penerimaan perpajakan mencapai Rp 1.786,4 triliun, jumlah yang dikatakan terlalu optimis oleh banyak pihak. Target itu terdiri atas penerimaan pajak Rp 1.577,6 triliun dan kepabeanan-pajak Rp 208,8 triliun.
Dengan potensi melemahnya neraca dagang nasional, apakah target bagi penerimaan pajak dan kepabeanan itu masuk akal? Apalagi, ramalan lemahnya sokongan perdagangan luar negeri ini juga telah disampaikan oleh Bank Dunia. Lembaga itu memperkirakan pertumbuhan ekspor pada tahun ini akan turun 1% dan baru akan membaik pada 2020 dan 2021 dengan proyeksi pertumbuhan masing-masing 1,5% dan 2,8%.
Pertumbuhan impor juga diperkirakan melemah seiring dengan pertumbuhan investasi yang lebih lambat. Impor diperkirakan turun sebesar 3,5% pada tahun ini.
Pertanyaannya adalah, mengapa Bank Dunia begitu yakin a laju pelemahan ekspor akan lebih lambat daripada impornya, pada saat ekspansi usaha yang menjadi tulang punggung terjadinya percepatan ekspor, berpotensi dibayangi ketakutan investor atas tragedi penusukan Wiranto?