Sebagai pesaing oposisi, Prabowo Subianto tampaknya perlu mengambil upaya maraton atau mungkin akan mendapatkan peluang lewat runtuhnya ekonomi Indonesia untuk merebut kembali kepemimpinan kandidat presiden petahana Joko “Jokowi” Widodo, yang tampaknya telah terbuka hanya enam bulan menjelang pemilihan presiden April 2019 mendatang.
Jajak pendapat terbaru oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukkan bahwa jika pemilihan diadakan hari ini, 60,2 persen pemilih akan memilih Presiden Jokowi, dibandingkan dengan hanya 20,7 persen suara untuk Prabowo. Ini adalah celah yang tampaknya terus melebar.
Meskipun margin melebar, masalah Jokowi terus menumpuk. Indonesia telah dihantam oleh dua bencana alam besar dalam dua bulan, mata uang Rupiah berada pada titik terendah sejak krisis keuangan Asia tahun 1997-1998, defisit neraca berjalan mendekati 3 persen dari produk domestik bruto (PDB) dan investor asing masih enggan memasuki pasar Indonesia.
Pemerintahan Presiden Jokowi juga seringkali dipandang disfungsional, dibuktikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan yang tampaknya mengambil tanggung jawab atas perintah kenaikan harga BBM baru-baru ini ketika segala sesuatu dilakukan untuk melindungi para pemilih dari inflasi yang terus meningkat.
Memahami alasan di balik popularitas Jokowi tidaklah sulit. Banyak orang Indonesia menyukainya apa adanya, sosok pria kurus dan sederhana dengan sedikit hubungan yang kuat dengan jajaran elit politik dan bisnis, serta ketertarikan tulus untuk meningkatkan kesejahteraan warganya.
Momen kritis akan datang pada pertengahan bulan Desember 2018. Saat itulah para penasihat politiknya percaya kampanye akan dimulai dengan sungguh-sungguh, lebih lambat dari ajang pilpres terakhir antara dua kandidat yang sama pada tahun 2014, tetapi menjadi sebuah tanda bahwa kali ini tidak ada banyak uang yang akan diperlukan. Jika angka pemilih sebelumnya dapat dijadikan sebagai petunjuk. sekitar 70-75 persen dari 187 juta pemilih yang berhak di Indonesia diharapkan akan ikut serta dalam pilpres 2019 mendatang, yang akan diadakan pada hari yang sama dengan pemilihan anggota legislatif tingkat nasional.
Sebuah survei yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) tidak lama setelah para calon secara resmi mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tanggal 10 Agustus 2018 menunjukkan bahwa Presiden Jokowi memimpin di depan Prabowo dengan margin yang lebih kecil, 52,2 persen menjadi 29,58 persen, tetapi dengan lebih dari 18 persen pemilih belum memutuskan akan mencoblos kandidat presiden yang mana.
Dengan swing voters, atau pemilih yang berpindah dukungan, yang lebih sedikit sebulan kemudian, jajak pendapat SMRC pada bulan Oktober 2018 menunjukkan bahwa pilihan kandidat untuk pasangan wakil presiden yang mendampingi mereka, yakni ulama konservatif Muslim Ma’ruf Amin bagi Presiden Jokowi dan pebisnis-politisi Sandiaga Uno bagi Prabowo, tampaknya memiliki sedikit dampak secara keseluruhan.
Menariknya, seorang kandidat oposisi untuk kursi legislatif di Sumatera Utara, salah satu dari hanya empat provinsi dengan mayoritas penduduk beragama Kristen, mengatakan bahwa dukungan untuk Jokowi cenderung “solid,” meski terdapat kekhawatiran pilihan kontroversial Ma’ruf Amin akan berdampak pada suara yang diberikan kelompok minoritas.
Pengalihan lain bagi Presiden Jokowi adalah konflik internal yang menggelayuti Partai Golkar, sekutu politik utamanya, di mana ketua partai dan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto yang dituduh terkait dengan skandal pembangkit tenaga listrik telah menempatkannya di bawah tekanan yang meningkat untuk mengundurkan diri.
“Airlangga tidak fokus,” kata seorang tokoh partai senior. “Dia tidak pergi ke daerah dan tidak ada pertemuan mingguan. Presiden Jokowi adalah faktor yang sangat penting. Jika dia ingin Airlangga dipecat, hal itu bisa terjadi dalam semalam. Jokowi mungkin berasal dari partai yang berbeda, tetapi ini adalah politik keseimbangan.”
Jokowi memainkan peran kunci dalam terpilihnya Airlangga bulan Desember 2017, tetapi menteri tersebut telah berjuang untuk mengembangkan pengikut setelah gagal menjadi kandidat wakil presiden mendampingi Jokowi dan mendapati dirinya terlibat dalam apa yang telah menjadi penyelidikan penyuapan secara luas.
Menurunkan ketua partai hanya dapat dilakukan dengan mengadakan kongres luar biasa, yang menurut salah satu sumber Golkar akan menelan biaya 400 miliar Rupiah atau 26 juta Dolar AS, dana yang akan lebih bijaksana untuk digunakan meningkatkan kinerja partai dalam pemilihan legislatif.
Di sisi lain, kredibilitas pencalonan Prabowo-Uno telah dirusak oleh kontroversi baru-baru ini seputar aktris dan aktivis Ratna Sarumpaet, seorang anggota tim kampanye oposisi yang mengklaim bahwa dia dipukuli oleh pendukung Jokowi.
Memar di wajahnya ternyata disebabkan oleh operasi plastik, yang dia coba sembunyikan dari keluarganya. Prabowo yang malu terpaksa meminta maaf karena turut serta dalam kegemparan, dan Sarumpaet kini berada tahanan polisi karena dituduh telah menyebarkan berita palsu.
Sejauh ini, Prabowo telah mengatakan sedikit hal tentang survei terbaru atau tidak banyak memberitahukan strategi yang dilancarkan dia dan timnya untuk membalikkan tren saat ini. “Banyak orang menyangkal tentang jumlah jajak pendapat,” kata seorang politisi oposisi. “Mereka masih berpikir bahwa Prabowo punya peluang.”
Basis pemilih jenderal purnawirawan tersebut terletak di pusat kota dengan standar hidup yang lebih tinggi dan akses ke internet, yang semuanya menciptakan jumlah kebisingan yang tidak proporsional. Sebagian besar pendukung Jokowi menetap di jantung Pulau Jawa dan daerah pedesaan lainnya, di mana pemilih kurang memiliki ekspektasi, tetapi peka terhadap perubahan harga.
Prabowo mungkin mengandalkan debat-debat televisi tahun depan ketika Amin mendapati dirinya kurang populer, dibandingkan dengan Uno, seorang pengusaha yang berpikiran tajam dan mantan wakil Gubernur Jakarta yang mengetahui cukup banyak hal tentang ekonomi manajemen.
Jokowi memiliki pengalaman ekonomi tersendiri. Namun, meski hal itu tidak akan menggemakan dengan para pendukungnya yang berpendidikan rendah, Jokowi telah memenangkan pujian tinggi dari para pemimpin keuangan dunia atas pidatonya dalam pertemuan tahunan Bank Dunia-Dana Moneter Internasional di Bali, di mana ia membandingkan kondisi ekonomi global dengan serial televisi populer Game of Thrones.
“… Bahkan ketika Keluarga-keluarga Bangsawan sedang berperang melawan satu sama lain, ancaman besar turun dari Utara,” ia memperingatkan, secara jelas merujuk kepada Amerika Serikat dan China. “Musim dingin yang jahat, berniat menghancurkan dan menyelimuti seluruh dunia dengan es dan kehancuran. Ketika musim dingin yang jahat mendekat, mereka harus menyadari bahwa tidak lagi penting siapa yang duduk di Tahta Besi. Yang lebih penting ialah membentuk kekuatan gabungan untuk mengalahkan Musim Dingin Jahat dan mencegah bencana global, serta memastikan dunia tidak menjadi tanah yang tandus dan porak-poranda yang membawa penderitaan bagi kita semua.”
Ironisnya, pidato cekatan itu ditulis oleh Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM) Indonesia Thomas Lembong, yang kegagalannya dengan cepat dalam menarik investor asing mengakibatkannya dipindahkan ke Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada bulan Juli 2018.
Hal itu adalah tanda yang lain akan ketidaksabaran Presiden Jokowi dalam hal lambatnya birokrasi dan khususnya kekhawatirannya atas defisit perdagangan yang terus meningkat serta kurangnya investasi asing langsung yang diharapkan dapat memberikan suntikan dana terhadap sektor manufaktur yang lesu.
Namun retorika Games of Thrones jelas terkait dengan faktor-faktor eksternal yang dipersalahkan oleh menteri-menterinya terhadap banyaknya kesengsaraan ekonomi Indonesia saat ini, termasuk perang dagang antara AS dan China dan serangkaian kenaikan suku bunga Federal Reserve AS untuk mencegah pemanasan berlebihan dari ekonomi Amerika.