Warga Jakarta, Rabu (23/10/2019) pagi, dikejutkan oleh aksi para aktivis Greenpeace Indonesia, yang mengibarkan spanduk di kaki Patung Dirgantara, Pancoran, Jakarta Selatan. Di kaki patung setinggi 27 meter itu, lima aktivis Greenpeace Indonesia mengibarkan spanduk bertuliskan “Orang Baik Pilih Energi Baik” dan “Lawan Perusak Hutan”. Mereka juga mencantumkan tagar #ReformasiDikorupsi. Spanduk serupa juga dikibarkan di Patung Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia.
Dianggap telah mengganggu ketertiban umum, mereka pun diturunkan oleh polisi dan petugas Pemadam Kebakaran (Damkar) pada pukul 10.45. Polisi menurunkan mereka dengan menggunakan kendaraan milik Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan DKI Jakarta jenis Bronto Skylift F90 HLA. Begitu menginjakkan tanah, aktivis Greenpeace itu langsung dibawa polisi menggunakan mobil ke kantor Polsek Tebet, Jakarta Selatan.
Aksi yang dilakukan para aktivis lingkungan tersebut di Jakarta terbilang nekat, bahkan bisa disebut baru. Lain halnya jika menengok para sekondannya di luar negeri. Pertanyaan yang mengemuka adalah, kenapa hal itu bisa terjadi? Apakah aparat keamanan sudah kecolongan? Pasalnya, aksi pagi di hari kerja di tempat-tempat yang menarik perhatian publik akan memberi efek publikasi yang luar biasa.
Di satu sisi, publik Ibu Kota dan Indonesia kadung mengetahui bahwa aksi LSM lingkungan internasional tersebut tak akan senekat itu bila tidak membawa isu “panas”. Di sisi lain, publik pun telah pintar menyadari, akan terlalu naif jika aksi ini berlangsung spontan dan berdiri sendiri, khususnya bila dihubungkan dengan kondisi perekonomian Indonesia serta proses kepemimpinan nasional untuk lima tahun mendatang.
Kondisi perekonomian Indonesia dinilai masih bertumbuh baik di tengah gejolak perang dagang yang masih berkecamuk secara global. Namun adalah fakta bahwa sepanjang semester I/2019, neraca dagang Indonesia masih tercatat defisit sebesar US$ 1,93 miliar. Angka itu merupakan defisit perdagangan semester I paling parah sejak 2013 atau dalam enam tahun terakhir. Harga komoditas tak bosan-bosan menjadi penyebab keruntuhan kinerja ekspor Indonesia, terutama batubara dan kelapa sawit.
Berdasarkan keterangan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suhariyanto, harga batu bara sepanjang 2019 anjlok hingga 30%. Nilai ekspor bahan bakar mineral secara keseluruhan pun turun hingga 6,4% sepanjang semester I/2019, dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Suhariyanto pun menyebut bahwa volume ekspor golongan barang tersebut masih tercatat naik. Ekspor barang tambang menyumbang 15,33% dari total ekspor nonmigas Indonesia sepanjang semester I/2019.
Serupa dengan komoditas minyak sawit yang harganya juga masih berada dalam tren penurunan. Berdasarkan data Revinitif, harga minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) acuan di Malaysia sepanjang semester I/2019 turun hingga 8,02%, menyebabkan nilai ekspor minyak nabati yang sebagian besar adalah minyak sawit pada semester I/2019 anjlok hingga 18,13% dibandingkan dengan semester I/2018. Sebaliknya, ekspor golongan barang jenis itu menyumbang 10,89% dari total ekspor nonmigas Indonesia.
Akibat penurunan kedua komoditas utama nonmigas itu, alhasil total ekspor sepanjang semester I/2019 hanya sebesar US$ 80,31 miliar, atau turun 8,58% secara tahunan (year-on-year/YoY). Sayangnya, penurunan impor pada semester I/2019 hanya sebesar 7,63% YoY, yang tentu saja akan berdampak pada pembengkakan defisit neraca perdagangan .
Keadaan ini sontak membuat probabilitas pecahnya rekor defisit neraca perdagangan pada akhir 2019 nanti semakin besar, lebih besar dari yang terjadi tahun sebelumnya. Sebagai informasi, pada 2018 neraca dagang Indonesia mengalami defisit US$ 8,7 miliar atau yang terparah sepanjang sejarah kemerdekaan.
Lalu, apa hubungannya dengan aksi para aktivis lingkungan tersebut? Tak lain, penciptaan image jelek terhadap perdagangan internasional Indonesia. Ujung-ujungnya, apalagi bila bukan terkait persaingan dagang, baik dengan produk sejenis dari negara lain, maupun produk-produk subtitutifnya.
Yang juga menarik perhatian publik, di tengah sengit suasana perang dagang, sektor batubara nasional punya isu maha penting terkait dengan perpanjangan izin konsesi pertambangan. Hampir seluruh perusahaan tambang besar negeri ini akan habis izin operasinya tahun depan.
Isu yang beredar bahkan menyebutkan bahwa pemerintah berencana menyusutkan hak kelola wilayah tambang dari perusahaan tambang batubara. Dengan kata lain, akan terjadi pengambilalihan aset.
Benar atau tidaknya isu tersebut, jelas membuat pelaku usaha langsung maupun tidak langsung menjadi gerah. Tak hanya terkait investasi, bagi para user, yakni industri pengguna batubara, mereka seperti ditodong untuk membeli lebih banyak di waktu lebih awal.
Apakah ini menguatkan dugaan bahwa semua hal itu merupakan sebuah situasi yang disengaja? Tak ada yang tahu secara pasti.
Efek Penegakan Hukum Masih Lemah
Namun, di tengah berbagai kontroversi, adalah fakta bahwa sebagian masyarakat Indonesia pun gerah dengan efek jeleknya kualitas lingkungan, terutama bagi warga yang tinggal di daerah yang mengalami bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Sementara itu, dari pemerintah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mengakui bahwa penegakan hukum yang dilakukan selama ini terhadap pelaku pembakar hutan dan lahan (karhutla) baru menunjukkan shock therapy atau efek kejut saja.
“Kami mempelajari, dari (karhutla) 2015 sampai sekarang, penegakan hukum yang kami lakukan baru bisa menunjukkan shock therapy, efek kejut saja, belum pada efek jera jangka panjang,” ujar Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup Kementerian LHK, Rasio Ridho Sani, dalam acara Forum Merdeka Barat (FMB) 9 di Jakarta, Selasa (1/10/2019).
Konidis tersebut dinilai menjadi salah satu penyebab mengapa ada perusahaan yang mengulangi perbuatannya melakukan pembakaran lahan. Menurut Rasio, hal tersebut berkaitan dengan budaya kepatuhan yang juga tak dijalankan oleh perusahaan bersangkutan. Kementerian LHK pun coba mencari inovasi dan terobosan untuk memperkuat efek jera.
“Salah satunya perluasan penindakan dengan pelibatan bupati, wali kota selaku pemberi izin sehingga mereka berada terdepan dalam penegakan hukum ini,” katanya.
Pemerintah daerah (pemda) adalah pemberi izin untuk perusahaan-perusahaan tersebut. Karena itu, mereka juga memiliki kewenangan seperti kementerian untuk menjatuhkan sanksi administratif atau memidanakannya. Agar semakin memberi efek jera, pihaknya juga melakukan pidana tambahan dengan menerapkan Pasal 88 tentang penerapan pertanggungjawaban mutlak oleh perusahaan di lokasi pembakaran dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Namun, upaya tersebut dianggap tak cukup sehingga pihaknya juga perlu melakukan pendekatan forensik dan memanfaatkan data satelit, seperti juga yang dilakukan ahli hukum serta ahli spasial forensik yang dimiliki Kementerian LHK.