Teka-teki siapa pengganti Jenderal Pol (Purn) Tito Karnavian semakin mengerucut saja. Seusai pelantikan, Tito mengungkapkan bahwa Komjen Idham Aziz akan menggantikannya sebagai Kepala Polri (Kapolri). Presiden Jokowi juga menegaskan bahwa nama Idham sebagai calon tunggal Kapolri sudah diserahkan ke DPR. “Sudah diajukan ke DPR, Pak Idham Azis,” ujar Jokowi di Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (23/10/2019).
Penunjukan Idham yang relatif cepat serta tanpa proses birokrasi dan politik yang begitu berbelit memang menarik perhatian publik. Ada apa gerangan dan mengapa bisa terjadi hanya satu calon? Begitu kira-kira pertanyaan yang mengemuka.
Apalagi, belum juga dilantik, Presiden Jokowi telah mewanti-wanti tugas berat Kapolri. Tak tanggung-tanggung, Kapolri baru diberi waktu hanya tiga bulan guna mencari pelaku penyiraman air keras kepada penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan. Sebuah kasus yang kadung menjadi perhatian publik nasional, bahkan internasional.
Lebih menarik, Tito yang diberi tugas oleh Jokowi, belum mengungkapkan hasil perkembangan kasus itu kepada publik. Jokowi pun mengangkatnya menjadi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) di jajaran Kabinet Indonesia Maju.
“Mengenai kasus yang ditanyakan tadi, saya kira nanti akan saya kejar kepada Kapolri yang baru agar bisa segera diselesaikan. Saya sudah melihat laporan kemarin sebelum saya angkat Pak Tito menjadi Mendagri. Saya kira ada perkembangan yang sangat baik, yang nanti akan segera diteruskan oleh Kapolri yang baru,” ungkap Jokowi ketika berbincang dengan awak media di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (24/10).
Mantan Wali Kota Solo ini pun menjamin bahwa hasil penyelidikan akan segera diumumkan kalau memang sudah selesai. “Dan segera diumumkan kalau memang sudah betul-betul selesai. Ini bukan sebuah kasus yang mudah,” tambahnya.
Jelas, tugas berat Idham akan menjadi penentuan sekaligus pembuktian bagi jenderal bintang tiga yang lahir di Kendari, Sulawesi Tenggara, yang lama bertugas di bagian reserse dan kriminal itu. Sebagaimana diketahui, sebelum diangkat sebagai Kapolri, Idham menjabat Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri. Ia mulai menjabat sebagai Kabareskrim sejak Januari 2019.
Seperti Tito, Idham dikenal berpengalaman di bidang reserse dan antiteror. Dia menjabat sebagai Wakil Kepala Densus 88 Antiteror Polri pada 2010. Idham sudah sering bekerja sama dengan Tito, salah satunya ketika melumpuhkan teroris bom Bali, Dr. Azhari dan komplotannya di Batu, Jawa Timur, pada 9 November 2005.
Tugas Lebih Strategis
Menjadi Kapolri tentu akan membuat Idham akan lebih sering duduk di balik meja dan memikirkan berbagai strategi yang diambil lembaga kepolisian. Tak salah bila kemudian banyak pihak mengharapkan Idham akan mampu menghasilkan kebijakan yang lebih mumpuni dan tepat guna dalam memberantas kejahatan terorisme di negeri ini, khususnya dengan menggunakan soft power atau pendekatan yang lebih bersahabat. Berdasarkan temuan Polri, kebanyakan hasil tangkapan para tersangka terorisme dua tahun belakangan adalah korban cuci otak ala para radikalis.
Paling anyar adalah para wanita yang menjadi korban “penipuan” organisasi islam garis keras, yang berangkat ke medan konflik Suriah, dengan iming-iming yang melenakan. Hasilnya, banyak dari mereka meminta dipulangkan ke Indonesia dan mengaku salah ikut dalam gerakan radikal.
Di sinilah tugas maha berat Idham. Apalagi terkait hal ini, institusi yang ia pimpin telah dibekali nota kesepahaman yang kala itu ditandatangani Tito bersama Mendagri Tjahjo Kumolo, dan Menteri Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Eko Putro Sandjojo. Ketiga pejabat tersebut menandatangani nota kesepahaman (MoU) soal pengawasan dana desa.
Salah satu isi MoU mengamanatkan kepala kepolisian sektor (Kapolsek) setempat untuk mengawasi penggunaan dana desa. Kepolisian di tingkat kecamatan ini dilibatkan sebagai upaya pencegahan pelanggaran. MoU juga memfasilitasi pertukaran data dan informasi dana desa serta pembinaan dan penguatan kapasitas aparatur pemerintah daerah, desa, maupun masyarakat dalam mengelola dana desa.
Dari Tupoksi itulah, peran kepolisian terkait pengawasan dan pengarahan penggunaan dana desa bisa sekaligus menjadi alat deradikalisasi ampuh, terutama memberikan bantuan bagi program ideologis maupun nonideologis bagi para korban penipuan kejahatan radikalisme. Apalagi jumlah dana desa yang dialokasikan pemerintah terus membesar dari tahun ke tahun.
Mengapa harapan tinggi datang dari utilisasi dana desa bagi program deradikalisasi? Eks narapidana teroris, Yudi Zulfachri, mengungkap kendala program deradikalisasi dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Yudi menilai maraknya terorisme di Indonesia karena program deradikalisasi tidak menyentuh ideologi objeknya. Menurut dia, para teroris biasanya akan menanamkan paham radikal kepada target sehingga bersedia melakukan aksi teror.
“Ini yang saya alami sendiri, bagaimana saya lulusan STPDN, telah ditanamkan ideologi nasionalisme, kebangsaan empat tahun, akhirnya keluar dari PNS dan masuk kelompok teroris. Kenapa? Karena ada ideologi lain yang masuk,” kata Yudi di Resto Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (19/5/2018).
Yudi menuturkan, program deradikalisasi yang dilakukan pemerintah hanya sampai mengubah perilaku radikal, tetapi tidak menghilangkan ideologi radikal yang sudah tertanam pada seorang teroris.
Berdasarkan pengalaman mantan tersangka teroris itu, dapat dipastikan peran serta aktif masyarakat desa dan kepolisian menjadi amat vital. Forum urun rembuk dan acara-acara keagamaan bersama kepolisian, perangkat desa, dan masyarakat berpotensi akan menjadi katalisator tersendiri.
Para korban kejahatan radikalisme yang tercuci otak dan punya pendirian ideologis yang sangat keras akan diajak untuk punya peran lebih besar di tengah-tengah masyarakat dengan proses yang lebih transparan, akuntabel, dan diawasi bersama oleh pihak berwenang dan para penduduk desa. Jadi tak hanya akan dibekali modal ekonomi, peningkatan aktualisasi diri di masyarakat diharapkan akan mengembalikan kepercayaan diri mereka sehingga bakal berpikir seribu kali untuk berbuat kerusakan atas dasar agama sekalipun.
Di sisi lain, siapa pun tahu, daya dukung dana desa semakin besar. Tengok saja realisasi dana desa hingga Agustus 2019 telah mencapai Rp 42,2 triliun atau 60,29% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 yang sebesar Rp 70 triliun. Jika membandingkan, realisasi dana desa terhadap APBN 2019 lebih rendah daripada periode sebelumnya yang sebesar Rp 36,2 triliun atau 60,41% dari target APBN 2018 Rp 60 triliun.
Namun, untuk tahun depan, jumlah itu akan berbeda. Pemerintah telah memutuskan untuk mengalokasikan dana transfer ke daerah dan dana desa pada 2020 sebesar 34% dari total belanja negara yang mencapai Rp 2.528,8 triliun. Total dana transfer ke daerah dan dana desa dalam Rancangan APBN 2020 sebesar Rp 858,8 triliun.
Angka ini meningkat 5,45% dibandingkan dengan APBN 2019 yang sebesar Rp 814,4 triliun. Secara rinci, alokasi transfer ke daerah dalam RAPBN 2020 sebesar Rp 786,8 triliun, naik 3,97% dari tahun sebelumnya Rp 756,8 triliun. Pada RAPBN 2020, alokasi dana desa akan menjadi Rp 72 triliun, naik 2,87% dari 2019 yang sebesar Rp 70 triliun.
Akankah Kapolri baru mampu mensinergikan kekuatan dana desa dan sistem pengamanan dan pengawasan oleh kepolisian? Hal tersebut akan menjadi sesuatu yang layak ditunggu.