Luhut Binsar Pandjaitan tak mau didikte. Dalam pertemuan World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss, pekan lalu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman ini menegaskan bahwa Indonesia sudah tahu bagaimana cara mengurus minyak kelapa sawit.
“Kami sangat terbuka, tapi jangan mendikte kami,” begitu kira-kira ucapan Luhut di depan figur-figur seperti Wakil Presiden AS ke-45 Albert Arnold Gore Jr, Presiden Kolombia Ivan Duqu Marquez, dan Asisten Sekretaris Jenderal PBB untuk Program Lingkungan Satya Tripathi.
Bukan apa-apa, sambung Luhut. Industri minyak sawit di Indonesia berkaitan erat dengan nasib 17,5 juta petani. Jika ekspornya dilarang, maka upaya pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan, juga menjadi poin penting dalam SDGs, bakal terhambat.
“Kami juga sudah moratorium, jadi jangan dikte kami,” kata Luhut di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (29/1/2019).
Minyak sawit dari Indonesia tengah mengalami masalah penjegalan dari Uni Eropa. Mereka menuding pemerintah Indonesia membiarkan deforestasi yang mengancam kelangsungan lingkungan hidup.
Luhut mengatakan, pemerintah dan kalangan usaha sebenarnya sudah gencar menepis isu deforestasi dan menyatakan bahwa industri minyak kelapa sawit (CPO) Indonesia sangat perhatian pada upaya keseimbangan dan keberlanjutan alam.
Salah satu bentuknya adalah melalui standarisasi produk CPO dan turunannya melalui Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO).
“Masalah lingkungan ini tidak perlu diajari. Kami tahu kalau merusak lingkungan itu sama dengan merusak generasi yang akan datang,” tegasnya.
Meski tak ingin didikte, Luhut mengatakan Indonesia tetap terbuka dengan masukan dari dunia internasional. Namun, dunia internasional juga harus menghormati posisi Indonesia yang bukan negara bisnis.
Luhut meminta pihak luar, khususnya Uni Eropa, untuk melakukan negosiasi terlebih dahulu dengan Indonesia sebelum menjatuhkan sanksi penjegalan. Lewat negosiasi itu, Uni Eropa bisa mendengarkan pendapat dan alasan Indonesia mengurus industri CPOnya.
“Semua ingin keadilan, keseimbangan. Indonesia itu negara terlalu besar untuk berpijak pada suatu kekuatan ekonomi lain di dunia ini,” tukas Luhut.
Pernyataan sebaliknya datang dari aktivis Greenpeace Indonesia. Kepala Kampanye Forest Global Kiki Taufik menilai komitmen Indonesia dalam mengatasi deforestasi justru masih jauh dari optimal.
Meski sepanjang 2017 angka deforestasi menurun, namun luasan hutan yang dibobol untuk lahan sawit masih sangat signifikan.
“Data University of Maryland, tahun 2017 kita kehilangan 355,5 ribu hektar hutan dan 80 ribu hektarnya dari palm oil. Penyebab terbesarnya masih industri kelapa sawit,” ucap Kiki, dikutip dari Tirto.id, Senin (28/1/2019).
Menurutnya, jika pemerintah mengacu pada Paris Agreement terkait penurunan emisi, jumlah bukaan hutan seluas itu tetap tidak dapat dibenarkan. “Saya bilang ini rada aneh juga. Justru itu dia [kelapa sawit]. Di Papua setelah ada illegal logging lahannya malah jadi kelapa sawit,” ucap Kiki.
Lepas dari masalah lingkungan, pengenaan tarif tinggi atas komoditas sawit yang diberlakukan sejumlah negara mencekik neraca dagang Indonesia.
Indonesia masih didera defisit perdagangan sepanjang 2018, tepatnya $8,57 miliar AS atau setara Rp122 triliun. Defisit ini merupakan kinerja perdagangan terburuk dalam lima tahun terakhir.
Tak dimungkiri, ekspor sawit yang terus merosot memberi kontribusi untuk defisit tersebut. Alhasil, kampanye melawan penjegalan Uni Eropa gencar dilakukan pemerintah.
Pada agenda Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-33 di Singapura, November 2018, Presiden Joko “Jokowi” Widodo secara langsung meminta bantuan Rusia untuk menghapus kampanye hitam terhadap produk CPO Indonesia.
Permintaan promosi kampanye positif CPO ini disampaikan Jokowi sebagai bagian dari upaya pemenuhan target perdagangan $5 miliar AS dengan Rusia pada 2020. Angka tersebut meningkat dua kali lipat dibanding nilai perdagangan per 2017 yang mencapai $2,52 miliar AS.
Indonesia mengharapkan Sukhoi dari Rusia, sementara Negeri Beruang ini berharap limpahan sawit yang lebih banyak dari Indonesia.
Rusia memang memiliki ketergantungan sawit dengan Indonesia. Agustus 2017, Indonesia dan Rusia menandatangani nota kesepahaman terkait pertukaran sebelas pesawat Sukhoi SU-35 dengan sejumlah komoditas perkebunan Indonesia seperti kopi, teh, karet, hingga kelapa sawit.
Namun, upaya ke Rusia tetap tak akan sebanding dengan banyaknya ekspor sawit yang selama bertahun-tahun lamanya berangkat ke Uni Eropa, khususnya ke Belanda, Spanyol, dan Italia.