Setelah diamankan polisi, akhirnya lima sukarelawan Greenpeace yang memanjat dan membentangkan spanduk di Patung Dirgantara atau Patung Pancoran, Jakarta Selatan, Rabu (23/10/2019) dibebaskan. Sebelumnya mereka diamankan di Polsek Menteng, Jakarta Selatan, dan diproses Satpol PP setempat.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace, Arie Rompas, seperti dikutip Antara, menerangkan bahwa lima sukarelawan itu dipulangkan pukul 15.00 WIB, sejak diamankan pukul 09.00 WIB. Nasib serupa juga dirasakan lima sukarelawan lain yang memanjat Patung Selamat Datang di Bundaran HI. Diproses lebih lama di Polres Metro Jakarta Pusat, akhirnya mereka dipulangkan sekitar pukul 21.00 WIB.
Kenapa sukarelawan yang diamankan di Polsek di Jakarta Selatan bisa pulang lebih cepat? Itu yang menjadi pertanyaan banyak pihak.
Di sisi lain, terkait Greenpeace Indonesia, lembaga swadaya masyarakat (LSM) legendaris ini mempunyai cerita kurang enak di masa lalu. Cerita terkait kampanye kebakaran hutan dan lahan (karhutla), dan kerja sama mereka dengan konglomerasi industri terkait.
Khusus Greenpeace, sebuah kelompok pemerhati lingkungan lain bernama Greenomics Indonesia pernah meminta Greenpeace untuk memberi penjelasan ke publik, terutama soal kerja sama LSM itu dengan Sinar Mas Group pada 2015. Saat itu, konglomerasi juga mengalami kebakaran lahan di konsesinya. Bisa disebut, 2015 adalah tahun dimana kebakaran hutan terbesar terjadi di Indonesia.
Kala itu Greenomics mengklaim bahwa Greenpeace dan Grup Sinar Mas, dalam hal ini Asia Pulp and Paper (APP), terbukti gagal dalam mengimplementasikan “Kebijakan Konservasi Hutan”. Konsesi-konsesi hutan tanaman industri (HTI) dan sawit milik Grup Sinar Mas di Sumatera dan Kalimantan diklaim oleh Greenomics terkait dengan karhutla 2015.
“Greenpeace perlu berbagi pengalaman kepada publik, mengapa kolaborasinya dengan Grup Sinar Mas tidak berhasil mencegah dan mengendalikan karhutla pada 2015,” kata Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia, Vanda Mutia Dewi, di Jakarta, Rabu (25/9/2019).
Menyinggung karhutla tahun ini, Vanda mengatakan, dari data yang diekspos per 20 September 2019, Gakkum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) telah menyegel sedikitnya 52 konsesi korporasi, termasuk konsesi APP, APRIL, selain juga perusahaan raksasa Malaysia.
Inilah mengapa banyak pemerhati lingkungan dan kalangan masyarakat awam Indonesia mempertanyakan “aksi heroik” aktivis Greenpeace Indonesia belum lama ini: benarkah menyuarakan keresahan dan penderitaan masyarakat atau adakah agenda lain yang menyertai?
Dugaan Lain
Suara lain yang lebih tegas datang dari World Wild Fund (WWF). Tanpa tedeng aling-aling, Direktur Policy dan Advocacy WWF Indonesia, Aditya Bayunanda, mengatakan bahwa penyebab karhutla di Sumatera dan Kalimantan adalah para cukong lahan, terutama yang terkait dengan perkebunan sawit. Cukong-cukong lahan tersebut, kata dia, membiayai warga untuk membuka lahan dengan cara dibakar.
“Saya sih melihatnya, banyak yang sifatnya jadi cukong modelnya. Bisa juga konteksnya perusahaan. Saya lihat, polanya sekarang cukong itu yang membiayai oknum-oknum masyarakat untuk melakukan pembukaan lahan-lahan itu,” ujar Aditya saat media briefing WWF Indonesia bertajuk “Indonesia Darurat Karhutla dan Upaya Penyelematan Hutan yang Tersisa” di kawasan TB Simatupang, Jakara Selatan, Selasa (17/9/2019).
Aditya mengatakan, menurut pemantauan LSM yang ia pimpin, titik panas atau hotpsot di Sumatera muncul di area hutan produksi yang statusnya konsesi maupun di luar konsesi. Paling banyak, hotspot terdapat di area penggunaan lain (APL) atau kawasan bukan hutan dan wilayah-wilayah areal konservasi.
Data dari Kementerian LHK lebih menyeramkan lagi. Karhutla di Indonesia, sampai September 2019 mencapai 857.756 hektare, terdiri atas 630.451 hektare lahan mineral dan 227.304 hektare lahan gambut. Angka ini naik meningkat 160% jika dibandingkan luasan Agustus lalu, sekitar 328.724 hektare. Data Kementerian LHK juga menunjukkan bahwa karhutla terjadi tak hanya di lahan-lahan terkait sawit, tetapi juga HTI dan hutan alam.
Raffles B. Pandjaitan, Plt Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Kementerian LHK mengatakan, angka ini didapat dari citra satelit landsat. Total luasan terdiri atas 66.000 hektare di HTI, 18.465 hektare hutan alam, 7.545 hektare restorasi ekosistem (RE), dan 7.312 hektare di areal pelepasan kawasan hutan.
Terbanyak di wilayah yang dikeluarkan Kementerian ATR/BPN yang sudah bersertifikat, seluas 110.476 hektare. “Peningkatan luas terbakar ini karena masih El-Nino. Ada pergerakan arus panas dari Australia ke Indonesia. Selain itu, masih ditemukan warga yang membuka lahan dengan membakar,” katanya.
Kementerian LHK, katanya, juga sudah melakukan proses hukum terhadap 79 perusahaan pemegang konsesi dan satu perorangan, baik penyegelan maupun gugatan hukum. Berdasarkan jenis perseroan, terdiri atas 24 perusahaan asing dan 52 perusahaan dalam negeri. “Dirjen Penegakan Hukum sedang dalam tahap penyelidikan dan penyidikan,” katanya.
Sebanyak 79 perusahaan terdiri atas 59 perkebunan sawit, satu perkebunan tebu, 15 HTI, tiga hak penguasaan hutan (HPH), dan satu restorasi ekosistem. Areal terbakar pada wilayah konsesi secara keseluruhan 27.192,271 hektare dan lahan perorangan 274 hektare.
Berdasarkan sebaran wilayah, ke-70 perusahaan tersebar di beberapa daerah. Di Kalimantan Barat terdapat 33 konsesi, Kalimantan Tengah (11), Kalimantan Selatan (2), Kalimantan Timur (2), Kalimantan Utara (2), Riau (10), Jambi (7), dan Sumatera Selatan (12).
Melengkapi data Kementerian LHK, data dari Badan dan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa total luas hutan dan lahan yang terbakar di seluruh Indonesia sepanjang Januari hingga Agustus 2019 mencapai 328.724 hektare. Karhutla terbesar salah satunya berada di Provinsi Riau.
“Luas lahan terbakar terbanyak ada di Provinsi Riau, yaitu mencapai 49.266 hektare,” kata Pelaksana Tugas Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat BNPB, Agus Wibowo di Jakarta, Jumat (20/9/2019).
Karhutla yang terjadi di Kalimantan Tengah meliputi area seluas 44.769 hektare diikuti Kalimantan Barat 25.900 hektare dan Kalimantan Selatan seluas 19.490 hektare. Di Sumatera Selatan, jumlah area yang terbakar mencapai 11.826 hektare, sedangkan di Jambi 11.022 hektare.