BERITA penangkapan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf (IY) pada awal Juli lalu begitu menyentakkan publik. IY digelandang KPK setelah tertangkap tangan menerima uang Rp 500 juta dari Bupati Bener Meriah, Ahmadi yang disebut-sebut sebagai bagian dari Rp 1,5 miliar commitment fee proyek pembangunan infrastruktur yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) 2018. Aceh yang sebelumnya dikenal dengan “Serambi Mekkah” tiba-tiba muncul sindiran satir menjadi Aceh “Serambi Korupsi”.
Aceh adalah satu provinsi yang mendapat kucuran triliunan dana otonomi khusus (otsus). Namun hijaunya dana otsus Aceh malah menjadi titik rawan terjadinya korupsi. Sejak diluncurkan pada 2008, triliunan dana otsus yang dikucurkan nyatanya belum membawa kabar menggembirakan. Kesejahteraan masyarakat masih menjadi isu yang kerap dihembuskan pada musim kampanye menjelang pilkada. Alih-alih menyejahterakan, dana otsus malah menjadi “racun mematikan” bagi para pejabat daerah.
Pada periode 2008-2010, penyimpangan penggunaan dana otsus mencapai Rp 443,8 miliar dari total dana otsus yang diterima Aceh Rp 11,1 triliun dalam tiga tahun tersebut (Serambi, 16/7/2018). Sejak 2008 hingga 2017, Aceh telah menerima dana otsus sebesar Rp 56,67 triliun. Tahun ini, dana otsus mencapai Rp 8 triliun. Pada tahun akhir penerimaan dana otsus 2027, Aceh akan menerima kucuran dana hingga mencapai Rp 163 triliun. Sebuah angka yang cukup fantastis untuk menyembuhkan Aceh sebagai daerah dengan tabal kemiskinan. Namun alih-alih sejahtera, hingga 2017 Aceh malah masuk sebagai satu dari enam provinsi termiskin di Indonesia. Lalu, ke mana dana otsus itu mengalir?
Tidak ada makan siang yang gratis. Mungkin kalimat ini tepat untuk menggambarkan ke mana dana otsus bermuara. Peng rukok (uang rokok), uang terima kasih, pajak nanggroe, pajak reman, dan sejumlah proyek siluman adalah sejumlah pos yang diduga kuat mengalirnya dana otsus ke sejumlah kantong pengusaha dan penguasa. Politik balas budi melalui sebuah tanda tangan di selembar surat perizinan, menjadi titik rawan penyalahgunaan kekuasaan dan penyelewengan anggaran.
Maka tertangkapnya IY oleh KPK dengan dugaan gratifikasi, membuat publik urut dada di tengah harapan yang kembali dibangun masyarakat terhadap IY. Apalagi selama ini IY kerap menyebutkan istilah politik hana fee atau tidak menerima suap dan imbalan dalam pengadaan proyek dan lainnya. Namun sayang, IY seperti menjilat ludah sendiri. Konsep politik hana fee yang selama ini kerap digaungkan pada kenyataannya menjadi “politik maliki” alias “mari memiliki”.
Dukung KPK, bukan koruptor
Setelah KPK memboyong IY ke Jakarta, berbagai suara berseliweran di tengah masyarakat. Banyak pihak mengapresiasi tindakan KPK yang berhasil melakukan OTT untuk pertama kalinya di Aceh. Namun di tengah dukungan untuk KPK, sayup-sayup terdengar suara bahwa itu hanyalah taktik pusat untuk menguasai dan melemahkan Aceh. Ada kepentingan pusat atas penangkapan gubernur Aceh tersebut. KPK “dituduh” tidak transparan dan berlaku semena-mena terhadap Aceh dengan langsung menangkap gubernurnya.
Mendengar suara tersebut, maka ada dua kemungkinan: Pertama, sebagian itu memang suara masyarakat yang menilai bahwa IY tidak bersalah, sehingga perlu dibela. Dan, kedua, kelompok tersebut adalah simpatisan atau timses IY yang memang akan membela, terlepas salah atau benarnya IY melakukan korupsi. Namun tuduhan bahwa KPK tidak transparan dan memiliki kepentingan untuk melemahkan Aceh itu terkesan rancu.
Perlu diketahui bahwa KPK bukanlah lembaga yang melakukan OTT begitu saja tanpa sebelumnya menyelidiki lebih lanjut target yang menjadi sasarannya. KPK tidak akan menangkap seseorang hanya berdasarkan azas curiga lalu menyeret ke penjara. Siapa pun yang ditetapkan KPK menjadi tersangka, maka telah melewati proses penyelidikan yang panjang.
Suara-suara ini kemudian tak lagi bersifat senyap, tapi juga aksi demonstrasi sebagian masyarakat yang meminta KPK agar mengembalikan IY kepada rakyat Aceh. Tidak hanya itu, belakangan juga muncul sekelompok pihak yang mengatasnamakan diri Koalisi Masyarakat Aceh Bersatu (KMAB) dan mengajak masyarakat untuk melakukan demonstrasi besar-besaran menuntut KPK agar membebaskan Gubernur Aceh. Menurutnya, penangkapan tersebut berpotensi merusak perdamaian Aceh dan memunculkan kembali konflik Aceh, setelah 13 tahun damai. Tidak hanya itu, kelompok ini juga mengancam akan kembali mengangkat senjata, jika IY tidak dibebaskan.
Gerakan ini tentu menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat. Bagaimana tidak, ancaman tersebut justru berpotensi menimbulkan konflik baru dan merusak “pualam perdamaian” Aceh yang dengan susah dibangun hanya untuk membela tersangka korupsi. Dukungan tersebut menjadi kontradiksi dengan realitas yang terjadi. Sebanyak Rp 56,67 triliun dana otsus yang dikucurkan, ternyata masih jauh panggang dari api. Potret kemiskinan masih begitu kentara di Aceh.
Maka membingungkan, jika selama ini kita selalu mengutuk pemerintah karena angka kemiskinan semakin meningkat, namun di sisi lain masih membela seseorang yang telah terindikasi melakukan korupsi. Apalagi belakangan diketahui bahwa sebagian massa yang turun ke Banda Aceh mengaku ditipu oleh oknum dengan ajakan untuk mengikuti acara zikir akbar di ibu kota provinsi. Demonstrasi berkedok zikir.
Tidak berhenti di situ, KPK dianggap tidak mempunyai urusan dengan Aceh. Pernyataan tersebut tentu mengherankan. Bagaimana tidak, KPK yang selama ini dikenal sebagai lembaga yang berhasil meringkus koruptor kelas kakap, namun malah dituduh mempunyai kepentingan dan berlaku semena-mena terhadap pemimpin Aceh.
Aksi KPK yang saat ini mulai gencar turun ke daerah, harusnya mendapat apresiasi. Setelah peristiwa tangkap tangan Gubernur Aceh, banyak dinas-dinas yang mulai mawas diri. Di Dinas Kesehatan (Dinkes) misalnya, KPK menemukan dokumen proyek terkait Anggaran Dinkes Aceh dengan nilai Rp 1,15 triliun. Gerakan ini tentu bagus untuk membongkar kasus-kasus korupsi di Aceh.
Jadi ketika muncul pernyataan bahwa KPK tidak ada hubungannya dengan Aceh, justru sebenarnya KPK dengan Aceh mempunyai hubungan yang sangat erat untuk membasmi kasus korupsi yang sudah terlanjur menjamur. Pengadaan barang, surat izin perusahaan, proyek pembangunan, dan berbagai kasus gratifikasi lainnya yang membutuhkan pengusutan dan menjerat pelakunya.
Melihat maraknya kasus korupsi di Aceh, KPK baiknya tidak hanya turun di tingkat provinsi saja, tapi juga bergerak ke kabupaten. Korupsi di Aceh sudah menggurita. Namun sayang, banyak yang kemudian hilang kabar berita. Dana hibah eks kombatan senilai Rp 650 miliar dan sejumlah kasus perizinan eksploitasi hutan adalah sebagian dari kasus korupsi yang kemudian beritanya menghilang atau boleh jadi “dihilangkan”.
Hijaunya dana otsus nyatanya belum membawa kabar menggembirakan selain meninggalkan bercak hitam dalam gurat wajah kemiskinan. Sayangnya itu seolah dianggap bukan kesalahan, tetapi kenyataan yang memang harus diterima dengan lapang dada.