POLITIK memang kerap membuat detak jantung berderap lebih kencang. Hari itu, saya dibuat terkejut ketika di sebuah cafe melihat dua orang anak kecil memakai baju kaos dengan tagar yang berbeda: #2019TetapJokowi dan #2019GantiPresiden. Saya tercekat. Berpikir, kira-kira apa yang ada di benak mereka ketika memakai dan melihat tagar berbeda dari baju yang dikenakan. Sontak membuat saya bingung. Sejak kapan anak-anak paham politik dan sejak kapan mereka punya hak pilih untuk ikut memberi suara pada pemilu 2019?
Saya menghela napas panjang. Politik memang kerap mendebarkan. Tidak cukup dialamii oleh rakyat dewasa, anak-anak juga terpaksa merasakan panasnya hawa politik yang diembuskan. Mereka menjadi “tumbal” dari politik kekuasaan di lingkungan sekitarnya. Orang tua, saudara, tetangga, dan kampanye yang diantar oleh media menjadi perantara mereka untuk melakukan sesuatu, yang jangankan isi, boleh jadi kulit luarnya saja belum mereka pahami. Namun sayang, anak-anak terpaksa mengikuti trend ataupun euforia politik rakyat tua di sekitarnya.
Korban politik
Potret di atas menggambarkan bahwa sadar atau tidak, kita mulai menggiring anak-anak untuk mengikuti “trend” komunikasi orang dewasa yang kerap diwarnai pertikaian dan adegan penuh drama. Mereka terjebak dalam aktivitas tersebut tanpa paham apa tujuannya. Padahal semua itu boleh jadi hanyalah mengikuti keinginan politik para orang tua mereka.
Potret ini membingungkan. Jika zaman dulu anak-anak diajarkan untuk jujur, baik budi, dan rajin menabung, hari ini satu tugas orang tua zaman now adalah mengajarkan anak untuk tidak membenci mereka yang mempunyai pilihan politik berbeda dengannya. Bukankah ini mengejutkan? Anak-anak bisa membenci sesuatu yang sebenarnya bukan dunianya. Jika dulu anak-anak bertengkar karena memperebutkan mainan, hari ini mereka membenci karena aliran politik orang tuanya.
Politik kebencian bukan hanya menjangkiti orang dewasa, tapi juga mulai menyerang anak-anak yang bahkan baru menghapal Pancasila. Sedangkan di luar sana, ada banyak dampak lain yang mungkin terjadi. Jika beda suporter bola saja yang tidak menghabiskan banyak rupiah bisa terjadi darah bertumpah, lalu bagaimana dengan dunia politik yang didahului rupiah meruah?
Maka hidup di negeri ini tentu tidak hanya cukup dengan taat membayar pajak, tapi juga dituntut menjadi rakyat dewasa. Menyikapi perbedaan pilihan politik tidak bisa dilakukan dengan menegang urat leher, tapi juga pemahaman bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama untuk dipilih dan menentukan pilihan politiknya. Hak untuk memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar setiap warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh negara.
Bertikai hanya karena beda pilihan politik adalah bentuk kegagalan kita dalam berdemokrasi. Padahal sistem demokrasi sudah memberikan kebebasan setiap individu untuk berpendapat dan menentukan suara politiksesuai dengan pilihan hatinya. Namun hari ini perilaku kita terlihat menggugat sistem yang telah disepakati tersebut. Perbedaan pilihan politik seolah menjadi ancaman bagi yang lain. Padahal negeri ini tumbuh dalam warna-warni keberagaman. Membenci perbedaan berarti mendustai Bhinneka Tunggal Ika yang selama ini sudah menjadi simbol keberagaman.
Jika paham bahwa masyarakat Indonesia ini beragam, lalu kenapa kita harus bertikai hanya karena beda kendaraan partai? Padahal kesejahteraan tidak dapat diperjuangkan melalui pertikaian dan keuntungan tidak didapat dari menebar kebencian. Bertikai hanya karena beda pilihan politik tak ubahnya menggali sumur kematian atas keberagaman. Indonesia yang dihuni oleh beragam suku, agama, dan budaya harus tersandung hanya karena perbedaan warna partai.
Jika begini keadaannya, mungkin benar seperti apa yang disampaikan oleh budayawan Radhar Panca Dahana (RPD) bahwa penyebutan “sifat” atau “ciri” semacam “negeri yang ramah”, “masyarakat yang toleran”, “rakyat yang jujur”, “hidup yang gotong royong”, “negara yang Bhinneka Tunggal Ika”, bisa jadi sebuah klaim ketimbang sebuah realitas –apalagi keniscayaan– baik secara alamiah atau pun budaya. Frasa “bhinneka tunggal ika” misalnya, benarkah bermakna sebagai kesatuan (politis) dari keragaman budaya (agama, ras, suku bangsa, dll) dari bangsa Indonesia? (Dahana, Kompas, 01/12/2016).
Mengubur kebencian
Namun fakta kerap menyakitkan mata. Politik kebencian terkesan ditumbuh-suburkan. Apalagi menjelang Pemilu 2019, perbedaan pilihan politik menjadi jurang pemisah antara kubu A dan B. Fitnah, caci-maki, pertikaian, dan ujaran kebencian, menjadi konsumsi sehari-hari. Hoaks tumbuh bak jamur di musim hujan. Menyebar di mana-mana. Belum lagi pertemanan dan kekeluargaan menjadi renggang hanya karena politik perbedaan. Dan yang lebih menyakitkan, ada yang cintanya kandas karena pilpres. Lalu ke mana Bhinneka Tunggal Ika yang selama ini dipercaya menjadi obat mujarab persatuan bangsa?
Perseteruan di media sosial juga menampilkan kenaasan yang sama. Hujatan bersahut-sahutan. Jika dulu istilah kasar sangat tabu disebut di depan khalayak ramai, hari ini umpatan seperti “kecebong dan kampret” menjadi kata makian untuk masing-masing kubu yang sedang bertarung. Sepanjang 2018, Polri telah mendeteksi ratusan konten provokatif yang mengandung ujaran suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), hoaks, dan ujaran kebencian. Hingga 6 Maret 2018, terdapat 642 konten provokatif. Politik kebencian telah mendorong semangat saling mencaci, memaki, dan membenci, sehingga hal tersebut berpotensi menciptakan perpecahan dan konflik sosial (Republika, 08/03/2018).
Melihat pertikaian yang ditimbulkan, maka hal tersebut dapat menimbulkan beberapa dampak bagi kehidupan masyarakat. Pertama, anak-anak belajar membenci terhadap teman yang berbeda pendapat dan pilihan dengannya karena ikut tergerus aliran politik orang tuanya. Kedua, terjadinya kekacauan politik dan konflik sosial karena pertikaian yang dipicu oleh perbedaan kendaraan politik. Ketiga, menjamurnya politik hoaks untuk saling menjatuhkan lawan sehingga masyarakat dibodohkan dengan berita kebohongan untuk mendongkrak popularitas dan kepentingan kelompok tertentu. Dan, keempat, persoalan krusial bangsa seperti kemiskinan, rendahnya mutu pendidikan, dan ketidak-adilan pengelolaan sumber daya alam harus terpinggirkan karena masyarakat sibuk dengan politik pertikaian antarpartai yang berbeda pilihan.
Melihat dampak yang ditimbulkan, maka politik kebencian karena perbedaan pilihan harus segera dihentikan. Perbedaan bukanlah musuh yang harus ditaklukkan. Mungkin kita lupa bahwa manusia juga lahir karena Tuhan menciptakan perbedaan laki-laki dan perempuan. Tanpa perbedaan, maka tidak ada kehidupan. Lalu kenapa manusia berperilaku seolah-olah menggugat Tuhan?
Padahal ketidakberagaman justru hanya akan menghasilkan kekosongan hidup. Sulit dibayangkan seandainya Tuhan hanya menciptakan spesies perempuan, atau pun sebaliknya. Betapa kosongnya semesta bumi. Lalu kenapa kita harus saling mencaci? Padahal keberagaman adalah nyawa bagi kehidupan. Politik kebencian yang ditumbuhkan hanya karena perbedaan pilihan politik menunjukkan seberapa kadar keshalehan sosial yang dipunya seseorang.
Pilihan politik boleh berbeda, tapi jangan sampai mengamputasi akal dan logika kita dengan memecahkan pualam kebhinekaan yang telah lama disulam. Pertikaian hanya akan membuat bangsa ini lumpuh. Padahal bukankah selama ini kita tidak pernah bertengkar hanya karena beda mimpi walau tidur satu bantal?