Debat kedua calon presiden yang berlangsung di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/2) dibuka dengan pemaparan visi dan misi dari Prabowo Subianto, dilanjutkan Joko Widodo. Debat bertemakan infrastruktur, energi, pangan, sumber daya alam (SDA), dan lingkungan hidup, menjadi parameter lanjutan dari kandidat dalam memahami peliknya persoalan bangsa.
Jokowi sebagai petahana percaya diri menyuarakan keberhasilan dan pencapaian dalam memerintah. Dengan berpegangan pada data, Jokowi seolah menyiratkan rasa percaya diri untuk bisa memerintah dua periode. Dalam pemaparan visi misinya, Jokowi menjelaskan komitmennya akan pembangunan, transformasi SDA ke biodiesel, menghentikan kebakaran hutan dan lahan gambut, serta mengurangi sampah plastik.
Di kubu penantang, Prabowo tampil menawarkan alternatif kebijakan. Narasi yang dibangun tak jauh berbeda dengan pilpres 2014, yaitu terfokus pada masalah fundamental, yaitu kedaulatan pangan. Dalam visi misinya Prabowo memaparkan betapa pentingnya swasembada pangan dan pengurangan impor guna menghadirkan Indonesia berdaulat pangan dan meningkatkan kesejahteraan petani.
Debat tanpa kisi-kisi pertanyaan, baik Jokowi dan Prabowo memiliki kesempatan sama untuk menanggapi jawaban yang dilontarkan lawan. Dalam sesi pertanyaan seputar infrastruktur, Jokowi menjelaskan data pembangunan yang riil, seperti pembangunan jalan tol, bandara, dan pelabuhan, serta menegaskan kembali tentang konsistensinya dalam pembangunan. Prabowo menanggapi dengan baik, mengapresiasi kinerja pemerintah, tetapi mengkritik dengan mengatakan, “Tim Pak Jokowi grusa-grusa sehingga tidak efisien.”
Dalam sesi energi dan pangan, ketika debat berputar soal revolusi industri 4.0, Jokowi menuding Prabowo tidak optimis dalam menyongsong era teknologi dan implikasinya pada perekonomian. Prabowo menampik tudingan Jokowi di sela jawabannya atas pertanyaan mengenai industri sawit. Di topik ini, keduanya sepakat bahwa sawit adalah komoditas penting bagi Indonesia.
Dalam topik SDA dan lingkungan hidup, Prabowo menyatakan akan bertindak tegas atas perusahaan-perusahaan besar yang merusak lingkungan dan melakukan kongkalikong dengan pejabat daerah. Prabowo juga menyinggung soal izin Amdal, yang akan diperkuatnya bila ia terpilih. Jawaban Prabowo yang seolah menuding ada ketidakadilan hukum yang berlaku, disanggah Jokowi dengan mengatakan bahwa beberapa perusahaan besar didenda hingga Rp 18,3 triliun.
Yang cukup menarik, saat permasalahan masuk ke soal reformasi agraria, Prabowo mengatakan bahwa kebijakan Jokowi soal redistribusi lahan hanya baik untuk 1 sampai 2 generasi saja, sementara tanah tidak bertambah, dan akan semakin habis. Pernyataan itu dibalas Jokowi dengan cukup cerdik, menegaskan bahwa sertifikasi tanah tidak untuk tanah-tanah besar dan luas, dan menambahkan bahwa Prabowo memiliki lahan luas di kalimantan Timur dan Aceh Tengah.
Informasi ini tentu akan menimbulkan multiinterpretasi, sebuah satire atau penyerangan pribadi. Semoga rakyat Indonesia khususnya pendukung kedua kandidat arif dalam menanggapi.
Dalam sesi adu argumen, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara berusaha menciptakan “klimaks” dengan menghadirkan sesi debat eksploratif, setiap kandidat diberi ruang untuk bertarung bebas. Namun, kesempatan itu tidak dimaksimalkan dengan baik. Prabowo enggan menanggapi topik yang menurutnya tidak perlu diperdebatkan karena dirinya sependapat dengan sang lawan.
Keengganan Prabowo bisa mengecewakan swing voters, yang menganggap sesi debat adalah uji ketajaman intelektualitas calon presiden, bukan ajang satu sepakat. Di medan debat, kuatnya analisis atas suatu masalah bisa memengaruhi masyarakat dalam menjatuhkan pilihan pada 17 April mendatang.
Pada akhirnya, kalimat klise yang sering diucapkan para pengamat debat bahwa “di pesta demokrasi pemenang sesungguhnya adalah rakyat” patut kita amini.