Indonesia kerap melakukan nasionalisme sumber daya untuk menjaga kekayaan agar tak hanya mengalir ke luar negeri, demi memenuhi kebutuhan 265 juta penduduknya. Presiden Jokowi menyangkal bahwa Indonesia adalah negara proteksionis, tetapi menjadikan dirinya sendiri sebagai jagoan nasionalisme sumber daya. Prabowo juga sebelumnya mengatakan bahwa Indonesia seharusnya tidak menjadi “kacung dan budak bagi negara lain”. Ini berarti bahwa siapa pun yang menang pada tahun 2019, nasionalisme sumber daya tampaknya akan bertahan.
Indonesia telah dijarah sejak Belanda mulai mengumpulkan pala dan cengkeh dari apa yang mereka sebut Hindia Timur 400 tahun yang lalu. Kekayaan mineralnya—yang tersebar di 17 ribu pulau—termasuk tambang emas terbesar di dunia dan tambang tembaga terbesar kedua.
Komoditas Indonesia menyumbang lebih dari separuh jumlah ekspornya, yang mencakup batubara, minyak sawit, dan timah. Identitas modern Indonesia dikekang oleh berpuluh-puluh tahun kediktatoran yang terkadang menindas, yang menjual kekayaan negara itu ke luar negeri.
Dalam beberapa tahun terakhir, bangsa ini berusaha untuk menjaga kekayaan agar tak hanya mengalir ke luar negeri, demi memenuhi kebutuhan 265 juta penduduknya. Di tengah pertumbuhan ekonomi yang tersendat-sendat, upaya untuk melakukan nasionalisme sumber daya telah terbukti ampuh menarik suara pemilih, tetapi mengancam untuk membatalkan formula yang selama bertahun-tahun mendatangkan investasi asing yang sangat dibutuhkan oleh negara demokrasi terbesar ketiga di dunia ini.
SITUASINYA SAAT INI
Ukuran, sumber daya, dan lokasi Indonesia memberi negara itu “daya tarik alami” bagi investor. Perusahaan-perusahaan produk konsumen terpikat oleh kaum mudanya (separuh penduduknya di bawah usia 30 tahun) dan oleh kelas menengah diperkirakan meningkat dua kali lipat menjadi 141 juta jiwa pada tahun 2020.
Tetapi negara itu telah berkinerja buruk. Data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menunjukkan investasi langsung asing berada pada $22 miliar pada tahun 2017—sebuah peningkatan selama beberapa tahun terakhir tetapi jauh di belakang hampir $43 miliar investasi yang masuk pundi-pundi negara tetangga Australia.
Walau Indonesia pada tahun yang sama memuncaki indeks potensi mineral global oleh Fraser Institute—sebuah wadah pemikir Kanada—namun Indonesia memiliki nilai buruk dalam hal persepsi investor, peringkat ke-99 dari 104 yurisdiksi pertambangan yang dilaporkan.
Indonesia dalam beberapa tahun terakhir telah melarang ekspor bijih logam untuk mendorong peleburan bijih logam di dalam negeri, yang mengarah pada penutupan tambang dan lonjakan harga nikel.
Newmont Mining Corp dan BHP Billiton Ltd., keduanya menjual tambang mereka kepada pemain lokal. (Larangan itu kemudian dicabut.) Perusahaan-perusahaan energi seperti Total SA dan Chevron Corp ditekan untuk menyerahkan aset. Freeport-McMoRan baru-baru ini setuju untuk melepas kepemilikan mayoritas di tambang tembaga besar-besaran kepada negara, untuk izin beroperasi sampai tahun 2041.
Pemerintah telah semakin memudahkan orang asing untuk mendapatkan izin kerja, tetapi juga memberlakukan persyaratan bahasa. Baru-baru ini Indonesia memerintahkan produsen minyak untuk menjual hanya kepada pengilang minyak milik negara PT Pertamina, dalam upaya untuk menopang mata uang Indonesia yang lesu, rupiah.

LATAR BELAKANG SEJARAH
Rangkaian kepulauan Indonesia—yang begitu luas sehingga bila dibariskan akan membentang dari New York ke Alaska—adalah tempat kekaisaran Buddha dan Hindu satu milenium lalu, sebelum beralih ke Islam melalui para pedagang Arab.
Indonesia bertahan berabad-abad sebagai negara jajahan Belanda, sebelum memenangkan kemerdekaan setelah Perang Dunia II. Presiden pertamanya, Soekarno, dikenal karena retorika anti-Barat yang berapi-api. Dia digulingkan pada akhir tahun 1960-an oleh panglima militer, Jenderal Suharto, yang pemerintahannya berdarah dan otoriter yang membawa stabilitas di Indonesia sambil memperkaya keluarga dan teman-temannya.
Pada tahun 1998, krisis keuangan Asia mengirim demonstran mahasiswa ke jalan-jalan, memaksa Suharto turun. Demokrasi parlementer muncul, meskipun sejarah pemerintahan feodal, kolonial, dan militer membuat kekayaan sangat terkonsentrasi di kalangan elit; sekitar 28 persen orang Indonesia berpenghasilan kurang dari $3,10 per hari.
Nilai Indonesia sangat buruk dalam survei tentang korupsi dan kemudahan melakukan bisnis. Kurangnya jalan dan pelabuhan membuat Indonesia lebih murah untuk mengirim barang ke China daripada ke seluruh nusantara.
ARGUMEN
Para pemimpin Indonesia ingin membuat negara ini berhenti bergantung pada komoditas dan mendorong investasi dalam nilai tambah manufaktur dan layanan untuk meniru keberhasilan negara-negara seperti Korea Selatan, dan menciptakan distribusi kekayaan yang lebih merata.
Presiden Joko Widodo—yang dikenal sebagai Jokowi, yang mencalonkan diri untuk terpilih kembali pada tahun 2019—menyangkal bahwa Indonesia adalah negara proteksionis, tetapi menjadikan dirinya sendiri sebagai jagoan nasionalisme sumber daya.
Bagaimanapun, negara-negara mulai dari Australia hingga Zimbabwe mengejar hal yang sama untuk mendapatkan lebih banyak dari sumber daya mereka. Para kritikus termasuk Bank Dunia berpendapat bahwa Indonesia perlu fokus pada pendidikan dan infrastruktur untuk mengangkat produktivitas dan meningkatkan ekonominya.
Lawan Jokowi, purnawirawan Jenderal, Prabowo Subianto, mengatakan di jalur kampanye, bahwa Indonesia seharusnya tidak menjadi “kacung dan budak bagi negara lain,” yang berarti bahwa siapa pun yang menang pada tahun 2019, nasionalisme sumber daya tampaknya akan bertahan.
Keterangan foto utama: Tambang Grasberg adalah titik nyala dalam perjuangan Papua untuk merdeka dari Indonesia, dan telah memicu kebencian atas seberapa besar keuntungan yang didapat penduduk setempat dari sumber daya di kawasan itu.