JAKARTA —- Sebuah perusahaan konsultan lingkungan hidup asal Inggris yang berkantor di Singapura menyembunyikan kemungkinan bahwa salah satu klien-nya berafiliasi dengan kelompok pendukung separatis Papua. Kelompok tersebut didanai oleh bisnis sawit dan perusahaan kertas. Apakah benar taipan Indonesia mendanai kelompok yang mengancam kedaulatan Indonesia?
Seorang sumber di perusahaan membantah keras tuduhan tersebut, namun dia juga menambahkan bahwa dia tidak begitu memahami masalah. Panggilan telepon ke nomor presiden dari seorang pejabat perusahaan kertas di Singapura tak mendapat jawaban. Sampai tulisan ini akan dimuat pun tak ada yang bersedia memberi tanggapan. Menurut seorang pakar, ini bisa jadi masalah. Baik bagi industri maupun pemerintah Indonesia.
“Masalah serius bagi lembaga pemerintah dan perusahaan adalah kurangnya pengawasan dan pemahaman untuk berpikir ‘out of the box’. Tak ada pengawasan terhadap LSM. Para petinggi perusahaan tidak memahami dasar masalahnya. Perusahaan mendanai kelompok pendukung kekerasan atau pendukung ideologi radikal yang bertentangan dengan kebijakan jelas harus dipikirkan ulang.” Kata pakar asal Eropa tersebut saat berkunjung ke Jakarta. “Selama mereka bisa menyerang pesaing dan menyelesaikan masalah dengan uang, orang-orang seperti mereka tak akan mau bertanggung jawab.” Tambah pakar tersebut.
Dia juga menyebutkan bahwa baik politisi maupun petinggi perusahaan kebanyakan mengandalkan agenda populis. Padahal pemilih di Indonesia tidak mendukung sosialisme. Namun yang terpenting, benarkah taipan Indonesia mendanai pendukung separatis?
Pemerintah Indonesia baru-baru ini sudah memutus kerjasama dengan WWF, pemerintah Filipina menolak negara Eropa yang mendanai pemberontak komunis dan pemerintah India menutup Greenpeace dan mengancam Ford Foundation. Sebuah bisnis online lingkungan hidup memanfaatkan jaringan berita kelompok EarthFirst! demi mempromosikan Mapuche yang merupakan organisasi teror yang tega membakar pertanian untuk mengusir pemiliknya. Serangan itu menewaskan dua petani berusia lanjut yang terbakar di pertanian mereka sendiri.
Ide demokratis yang membela separatis Papua adalah ‘pejuang kemerdekaan’ bukan sekedar debat akademik namun lebih menyoal tentang aturan negara. Visi para LSM yang didanai asing tentang tatanan aturan negara dan ‘wilayah yang butuh kemerdekaan’ sama seperti perang tahun 1960-an. Mungkin perundingan narasi lama perlu dipertimbangkan kembali karena kebangkitan pemberontakan bersenjata di Papua dan terorisme, terutama bagian di mana ada pekerja konstruksi yang terbunuh dan tahanan politik bukanlah sifat demokrasi yang menguntungkan orang Indonesia.
Dikemas dengan sangat apik lewat narasi lingkungan hidup, dukungan bagi kelompok separatis Papua nyata terlihat di Asia. Sesudah Australia, sekarang Singapura jadi markas bagi kelompok kiri yang didanai konglomerat Indonesia.
Robertsbridge dan organisasi lain dipenuhi oleh orang-orang Ford Foundation, Greenpeace dan LSM yang mengusung ide-ide yang layak dipertanyakan. Pejabat-pejabat Indonesia berhadapan dengan ancaman teror di Papua yang makin serius di bulan Agustus 2019. Tahun demi tahun tanpa pengawasan terhadap LSM asing berimbas pada kohesi sosial di provinsi tersebut. Para aktivis sejak lama memperingatkan masyarakat dalam sebuah artikel yang berjudul ‘Be Warned, Activism Is Changing’ bahwa aktivisme sudah berubah. Penulisnya menyebut aktivisme baru adalah ‘gerakan-gerakan baru ini seperti hewan buas yang tidak dijinakkan’. Bukan ancaman tersembunyi.
Persenjataan canggih pun muncul di Papua. M-240 buatan Amerika dan senjata lain buatan lokal juga digunakan. Kelompok-kelompok ini berkoordinasi di bawah pimpinan-pimpinan adat dan West Papua Liberation Army dengan dukungan Oslo Freedom Forum lewat Benny Wenda. Berita ini mengemuka bersamaan dengan riuhnya demo Hong Kong. United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) berdiri 7 December 2014 di Vanuatu untuk menyatukan banyak faksi dalam satu kelompok. Tapi faksi militer tetap jadi oposisi dan mendeklarasikan perang terhadap Indonesia pada Desember 2018.
Papua yang kaya sumber daya alam sudah lama bersinggungan dengan kegiatan para aktivis asing. Sejak pemerintahan Susilo Bambang Yudhyono, banyak aktivis menjadikan Papua dan Indonesia sebagai wajah aktivisme.
“Di negara lain, kami tak bisa melakukan hal yang kami lakukan di Indonesia” ujar salah satu aktivis senior. Pemerintahan SBY dan Jokowi punya banyak mantan/aktivis ‘kekirian’ yang memicu debat mulai dari isu perubahan iklim sampai tragedi pembersihan komunis tahun 1965 di Indonesia. Tapi narasi neo-sosialislah yang paling merugikan.
Bisnis/industri Indonesia dijauhi masyarakat dan pasar negara-negara Barat. Penelitian menunjukkan kerugian ekonomi akibat aksi LSM kiri asing bisa mencapai 3-4 persen dari GDP. ‘Fantasi hijau’ mengadopsi revolusi sosialis. Di Inggris, kelompok Extinction Rebellion ramai diberitakan di musim panas 2019. Dipimpin oleh kaum Marxis yang ingin menggulingkan pemerintah Inggris. Bukti bahwa untuk mengekspor revolusi bukan karena alasan lingkungan, tetapi untuk membentuk pemerintahan kiri.
Kerusuhan 2019 di Surabaya, Jakarta dan Papua berakibat tewasnya 31 orang, penangkapan besar-besaran, dan kerusakan. Pembakaran, seperti di Hong Kong, menjadi alat yang disukai untuk perlawanan. Di kota Malang, pengunjuk rasa Papua bentrok dengan kontra-pengunjuk rasa dan penggemar klub sepak bola Arema Malang, dengan ejekan rasis dari para pengunjuk rasa. Lima pengunjuk rasa dilaporkan “terluka berat” dan hampir semua pengunjuk rasa terluka.
Dukungan untuk gerakan separatisme di Papua telah lama menjadi landasan kelompok-kelompok Marxis Eropa dan Australia. Pembunuhan anggota TNI oleh separatis Papua berbeda dengan deklarasi perang oleh kelompok-kelompok Papua yang menggunakan anak di bawah umur sebagai tentara. Sebuah pelanggaran hukum PBB.
LSM mengklaim mereka melindungi dan melestarikan penduduk asli. Versi romantis kolonialisme asing yang baru ini mengabaikan praktik-praktik seks oral oleh para pria muda sebagai bagian ritual saat memasuki kedewasaan, tingkat kematian anak yang tinggi, dan kurang gizi. Angka kematian balita yang baru lahir dan meninggal sebelum mencapai usia lima tahun telah menurun secara stabil.