Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional / Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro menyampaikan, salah satu isu terbesar terkait ketenagakerjaan Indonesia adalah persoalan produktivitas yang relatif rendah dibandingkan negara-negara tetangga. Bahkan setelah terkena krisis ekonomi pada 1998, pertumbuhan produktifitasnya cenderung melambat.
“Meskipun tingkat pengangguran kita rendah, sekitar 5,3% atau setara 7 juta angkatan kerja kita, tetapi 60% dari yang bekerja itu adanya di sektor informal, 40% di sektor formal. Secara umum, yang bekerja itu sebagian besarnya ada di sektor yang produktivitasnya relatif rendah, apakah itu di pertanian, perdagangan trandisional, maupun di sektor jasa yang tidak membutuhkan keahlian tinggi,” kata Kepala Bappenas saat menjadi pembicara di seminar yang digelar Perhimpunan Organisasi Alumni PTN Indonesia (Himpuni), di Jakarta, Senin (14/1).
Sulitnya meningkatkan produktivitas tenaga kerja dalam waktu yang relatif singkat menurut Bambang dikarenakan minimnya sarana dan prasarana untuk pelatihan, baik untuk yang baru memasuki pasar tenaga kerja, maupun untuk tenaga kerja yang sudah aktif dan ingin meningkatkan kompetensinya.
“Dari hasil PISA yang terakhir, boleh dikatakan lebih dari 55% orang Indonesia yang lulus pendidikan formal tidak mempunyai kompetensi yang cukup untuk membuat mereka lebih produktif. Sementara di Vietnam, hanya 14% lulusan pendidikan formal yang tidak bisa meningkatkan kompetensi,” papar Bambang.
Bila tidak ingin ketinggalan dengan negara tetangga, Bambang menegaskan peningatan produktivitas tenaga kerja harus segera dilakukan, sebab hal tersebut merupakan kunci untuk memanfaatkan bonus demografi.
“Kita butuh peningkatan produktivitas segera. Salah satu kuncinya adalah bagaimana kita melibatan industri dalam pengembangan vokasi. Kita bisa menerapkan satu sistem ganda, yaitu kurikulum yang tidak hanya belajar di kelas saja, tapi kombinasi. Satu semester belajar di kelas, satu semester bekerja di lapangan atau perusahaan,” papar Bambang.
Terkait hal ini, perusahaan perlu berinvestasi menyiapkan instruktur khusus untuk mengajarkan para siswa yang sedang menjalani masa magang, sehingga tidak benar-benar lepas dari sekolahnya. “Ini yang sekarang sedang diupayakan untuk dibangun. Beberapa perusahaan sudah menyatakan bersedia mengikuti sistem ini, karena mereka melihat siswa magang ini juga bisa direkrut di kemudian hari,” ujarnya.
Hal lainnya yang perlu dilakukan adalah memperbaiki kualitas guru dan instruktur, kemudian para siswa lulusan vokasi juga harus tersertifikasi untuk menjamin upah atau gaji yang diterima sesuai dengan keahliannya.
“Yang juga penting adalah penguatan kewirausahaan dan mengembangkan pitching industri. Lima tahun ke depan, rencananya kami juga akan mengusulkan adanya skill development fund. Mudah-mudahan ini bisa jadi pendorong orang untuk up-scaling dan re-scaling, tidak ragu lagi untuk memperbaiki skill mereka dan tidak bergantung apakah punya uang atau tidak,” imbuhnya.