Trailer Avengers : Endgame telah dilaunching pada Jumat (7/12). Film yang ditunggu jutaan penonton ini akan tayang pada 26 April 2019.
Saat itu akan terjawab semua pertanyaan penonton mengenai nasib penduduk dunia, superhero, dan masa depan semesta pasca pemusnahan masal separuh penduduknya oleh Thanos.
Bagaimana nasib superhero yang masih hidup seperti Captain America, Iron Man, Black Widow, Hulk, dan Ant-Man? Apakah mereka mampu melawan superioritas Thanos? Akankah penduduk semesta yang dimusnahkan akan kembali hidup?
Dengan cara apa mereka mengalahkan Thanos yang sangat digdaya? Benarkah Captain Marvel memiliki peran penting dalam melumpuhkan Thanos? Banyak pertanyaan muncul di benak penikmat Avengers: Infinity War. Mereka ingin jawaban segera di Avengers: Endgame.
Ada satu pertanyaan besar lainnya dari penonton yang tak sabar menunggu film ini: Mengapa April tidak menjadi bulan pertama di tahun 2019. Bila iya, para fans Marvel akan bersukacita karena dapat menontonnya segera. Empat bulan terlalu lama untuk menjawab rasa penasaran mereka.
Di jagat politik Tanah Air, pertanyaan menggelitik seperti itu muncul. Mengapa April itu tak menjadi bulan pertama di 2019? Kita memang sedang menunggu sebuah perhelatan akbar yang akan menentukan nasib bangsa Indonesia pada 17 April nanti. Siapa pemenang pilpres, publik menanti jawaban itu segera.
Logika di atas sebenarnya adalah sebuah sarkasme cara berpikir politisi di Tanah Air yang secara keliru menyatakan bahwa hastag kelompok oposisi tentang kepemimpinan baru pada 2019 (#2019gantipresiden) itu berarti dimulai sejak hari pertama di bulan pertama di tahun yang sama. Kita sama-sama melihat, adanya tuduhan bahwa tindakan kelompok itu sebagai gerakan makar yang akan menggulingkan pemerintah.
Kemudian di beberapa kota dihadanglah gerakan ini oleh kelompok lain karena tuduhan yang sama. Padahal suksesi kepemimpinan yang dimaksud kelompok oposisi adalah momen pilpres 2019 pada 17 April.
Kedua kelompok sama-sama memiliki keleluasaan dalam menyatakan pendapat. Ini dijamin dalam UUD 1945 pasal 28 E ayat 3, “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Menyatakan pendapat “presiden baru 2019” sama bolehnya dengan dukungan “dua periode untuk petahana”.
Tindakan yang tak dibenarkan adalah penyampaian pendapat disertai intimidasi, berupa pengusiran dan ancaman, apalagi membawa/menggunakan senjata tajam di obyek vital transportasi nasional seperti bandara.
Saat pilpres nanti semua pertanyaan publik akan terjawab sudah. Siapa yang menjadi pemenangnya akan diketahui hasilnya. Sesuai hasil survei beberapa pollster dengan keunggulan petahana, ataukah seperti pilkada DKI Jakarta yang menumbangkan pejabat lama. Atau, mungkin seperti pilkada Jabar yang menunjukan keberimbangan, disparitas pemenang dan kompetitor tak sebesar hasil polling.
Hasil pilpres April tahun depan bisa saja menjadi sebuah akhir (endgame) bagi petahana, dan awal yang baru bagi sebuah regime yang belum pernah tampil sebelumnya. Awal dari sebuah era yang baru.
Atau boleh jadi sebaliknya. Petahana ternyata tetap menjadi pemenang pilpres sekaligus menjungkirkan anggapan bahwa mereka sedang menjalani awal dari sebuah akhir.
Siapapun yang terpilih menjadi presiden kelak, semoga membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Pemerintahan baru yang betul-betul baru atau masih wajah lama, sama-sama menanggung janji politiknya. Mereka harus merealisasikan janjinya kepada rakyat selama ini.
Labelling pembohong atau gagal akan selalu disematkan pada politisi yang acapkali mengabaikan janji atau menciderai harapan rakyat. Rakyat dapat berpikir dan bertindak kejam bila tak melihat kesungguhan pemerintah dalam bekerja.
“If you do the right no one remembered, if you do the wrong no one forgot“, kesalahan kecil saja akan selalu diingat, apalagi janji politik yang tak direalisasikan.
Siapapun yang memenangkan pilpres, hendaknya publik legowo. Pasca-pilpres 2019 seharusnya usai sudah polarisasi dua kubu, hingga tak ada lagi labelling “kecebong” versus “kampret”. Hendaknya semua perseteruan kedua kelompok selesai sudah pasca pilpres.
Soal kritik publik berkaitan dengan aktivitas, kebijakan, dan kinerja pemerintah itu hal lumrah. Tak perlu disematkan tuduhan haters atau pembenci. Pandanglah kritik sebagai hal yang lumrah.
Hendaknya publik dapat membedakan kritik dengan cacian, makian, hinaan, umpatan, dan ujaran kebencian. Kritik itu untuk meminta jaminan dari regime agar mereka amanah karena kekuasaan itu cenderung disalahgunakan. Seperti kata Lord Acton, “power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely“.
Mekanisme monitoring, evaluasi, check dan balance, dan kritik adalah hal biasa. Bahkan kritik itu menjadi sebuah asupan, seperti vitamin dalam tubuh, agar pemerintah berkerja lebih baik lagi. Bila bukan kepada pemerintah, kepada siapa lagi rakyat akan melabuhkan harapan.
Publik selalu mengingat peristiwa kunjungan Prabowo ke istana Bogor menemui Presiden Jokowi, dan makan nasi goreng bersama di kediaman Prabowo di Hambalang, sebagai momen yang menyenangkan. Apalagi saat keduanya berpelukan dalam Asian Games lalu. Itu momen indah dan hangat yang mendinginkan dan meneduhkan suhu politik.
Siapa pun pemenang pilpres, bangsa ini butuh lebih banyak pelukan dan ketulusan hubungan di antara para pemimpin politik. Sangat keren rasanya, sambil menunggu hasil penghitungan suara secara resmi pemenang pilpres, Jokowi dan Prabowo berangkulan meluangkan waktu bersama menonton Avengers: Endgame.