Pemerintah kini dibayangi kekurangan anggaran negara karena kemungkinan target penerimaan pajak tidak tercapai. Hal itu bisa terjadi terutama akibat belasan tahun pemerintah hanya mengandalkan konsumsi untuk motor pertumbuhan ekonomi.
Lebih dari 50 persen pertumbuhan ditopang oleh konsumsi yang didanai utang dan sebagian besar berasal dari impor. Dan pada saat inilah, uang negara terkuras.
Sejumlah kalangan mengemukakan jika akar masalah tentang pengelolaan utang dan peningkatan produktivitas nasional tidak diselesaikan, Indonesia akan kesulitan untuk membayar utang yang kini mencapai hampir 4.000 triliun rupiah. Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan serta berkualitas juga sulit terwujud.
Pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, M Nafik, mengatakan rakyat sebenarnya bukan anti utang untuk pembangunan.
Yang menjadi masalah, apakah selama ini dipikirkan secara matang cara untuk membayar kembali. Sejak krisis 1998 yang memunculkan utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sampai hari ini, sudah belasan tahun struktur anggaran negara terlihat tidak dipaparkan bagaimana upaya membayar kembali utang yang kian menumpuk.
“Sehingga sistem gali lubang tutup lubang tidak berhenti, bahkan kini dengan lubang yang lebih besar,” ungkap Nafik, ketika dihubungi, Rabu (23/8).
Dengan kondisi seperti ini, lanjut dia, terjadi efek bola salju atau snowballing. Beban utang makin besar sehingga tidak dapat mempertahankan fiskal yang sehat atau mendekati insolven, kewalahan membayar utang. “Sebab, beban utang sudah tidak sebanding lagi dengan pendapatan negara.”
Nafik menambahkan akibat target pajak sulit tercapai, saat ini pemerintah hanya punya dua opsi untuk mencegah defisit tidak melampaui batas aman 3 persen, yakni menambah utang hingga melebihi target tahun ini sebesar 467 triliun rupiah, dan memangkas belanja negara.
Namun, menurut dia, ada hal yang lebih penting yaitu efektivitas penggunaan utang. “Bagaimana setiap satu dollar utang bisa menghasilkan 2–3 dollar pendapatan sehingga bisa untuk bayar utang. Itu yang sebenarnya harus dilakukan. Tapi, belasan tahun tidak ke arah situ. Prinsip ini tidak dipegang. Itu yang jadi masalah,” tukas Nafik.
Buktinya, lanjut dia, impor pangan dan barang konsumsi malah makin besar. Banyak kebijakan yang pro-impor dan memusuhi petani dan industri nasional yang memiliki kandungan lokal tinggi. Secara nyata, kebijakan justru mematikan petani dan industri nasional.
Contohnya, kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang melanggar UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, khususnya pasal mengenai kartel,
yaitu membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk memengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
“Bagaimana hal seperti ini dibiarkan pemerintah,” tegas Nafik.
Sektor riil
Menurut dia, masalah utang tidak bisa dipisahkan dengan industri sektor riil. Sebab, penghasilan negara termasuk penghasilan devisa berasal dari sektor riil. Inti masalahnya adalah apakah utang negara dipikirkan untuk menghasilkan yang lebih tinggi dari utang yang ditarik.
“Faktanya, impor pangan dan komponen otomotif yang konsumtif justru makin besar. Ditambah dengan bubble properti. Ini semua yang habiskan tabungan negara,” jelas dia.
Nafik mengungkapkan kredit properti dengan outstanding hingga 800 triliun rupiah berpotensi memicu bubble properti sehingga menjadi kontributor utama inflasi. Sebab, sekitar 12 persen biaya hidup berasal dari sektor perumahan.
“Masalah lain terkait impor, rupiah merosot karena impor konsumsi, bukan impor barang modal yang produktif. Padahal, depresiasi rupiah adalah sumber inflasi,” kata dia.
Terkait pengelolaan utang, ekonom Yanuar Rizky menambahkan, problem terbesar pemerintah adalah tidak memiliki mitigasi risiko utang. Ketika berutang, pemerintah tidak pernah memitigasi penggunaan sebenarnya utang tersebut.
“Akan dikembalikan dengan cara apa. Itu belum pernah diungkapkan pemerintah ketika menerbitkan utang,” jelas dia.
Yanuar menambahkan, pemerintah jauh lebih baik menerbitkan surat utang khusus infrastruktur daripada selalu membuat alasan bahwa penerbitan utang diperuntukkan untuk pembangunan nasional, tetapi tidak terlihat output-nya.
“Misalnya, untuk jalan tol. Sehingga performa utang nanti bisa diukur. Betul nggak jalan tol bisa membayar utangnya,” kata dia.