Asosiasi pengusaha hutan menggugat pasal-pasal dalam Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal yang digunakan merupakan pasal ‘sakti’ yang digunakan pemerintah untuk menggebuk para pembakar hutan.
Penggugat adalah Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI). Mereka memberikan kuasa hukum kepada Refly Harun. Salah satu pasal yang digugat adalah Pasal 88 UU No 32/2009 yang berbunyi:
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.
Menurut Refly, ketentuan di atas bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945. “Setiap norma hukum harus berlandaskan pada supremasi dan kepastian hukum yang berkeadilan. Pasal 28D ayat 1 UUD 1945 mengamanatkan agar norma hukum harus mengakomodasi prinsip kepastian hukum yang berkadilan (fair legal certaintly),” ujar Refly Harun sebagaimana dikutip dari website MK, Jumat (26/5/2017).
Frase ‘bertanggung jawab mutlak atau strict liability’ dinilai pemohon merugikan hak konstitusional mereka. Mereka berdali pasal itu tidak didasarkan pada doktrin pertanggungjawaban (liability based on fault) yang mempersyaratkan adanya kesalahan (negligence atau fault).
“Dalam menjalankan usapa pemanfaatan hutan dan usaha perkebunan, para pemohon secara hati-hati (precauntionary principles) telah mengupayakan dengan segala sumber daya (resources) guna melindungi areal kerjanya dari praktik pembakaran hutan dan lahan. Namun demikian, praktik pembakawan hutan dan lahan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memanfaatkan celah hukum pada Pasal 69 ayat 2 UU 32/2009, seringkali menyebabkan api menyebar tanpa terkontrol, yang pada akhirnya memasuki areal kerja para pemohon,” papar Refly.
Meskipun secara faktual kebakaran hutan danlahan tidak disebabkan pemohon, tetapi berdasarkan Pasal 88 UU Nomor 32/2009, pertanggungjawaban atas kerusakan lingkungan hidup dan sanksi hukum tetap dibebankan kepada para pemohon. “Baik secara pidana maupun perdata,” dalih pemohon. Pasal 88 itu bertentangan dengan Pasal 1865 KUHPerdata yang berbunyi:
Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang ditemukan.
“Pertanggungjawaban mutlak (strict liability) tanpa adanya pembuktian merupakan ketentuan yang inkonstitusional,” cetus Refly. Oleh sebab itu, pemohon meminta MK memberikan tafsir bersyarat terhadap pasal 88 itu. Sehingga berbunyi:
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi sepanjang kerugian tersebut disebabkan oleh orang yang bersangkutan.