Publik Indonesia dikejutkan oleh pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan. Dalam sebuah acara di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), ia mengajak seluruh rakyat Indonesia, khususnya TNI-Polri, untuk berani menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara besar sehingga tidak perlu ada intervensi yang melanggar kedaulatan NKRI.
Yang menarik, pernyataan Luhut itu bertepatan dengan statemen pengamat kehutanan, Profesor Yanto Santosa, yang menyerukan organisasi asing menghentikan kampanye negatif tentang tentang pengelolaan hutan dan keanekaragaman hayati di Tanah Air. Pasalnya, seringkali kampanye yang menghambat pembangunan nasional itu berdasarkan informasi keliru, tidak lengkap, dan tidak benar.
Prof. Yanto mempertanyakan serangan terus-menerus terhadap proses pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Ia menolak anggapan sejumlah NGO (non government organization/lembaga nonpemerintah), maupun pihak asing lain yang menyatakan bahwa proyek itu mengancam keberadaan orangutan.
“Padahal, lokasi pembangunan PLTA ada di luar kawasan hutan. Kalaupun ada orangutan yang menjelajah dekat dengan lokasi proyek, jumlahnya tidak sebanyak yang mereka klaim,” katanya.
Dirinya sangat heran, kenapa NGO asing dan lokal begitu gencar menyerang proyek yang jelas-jelas akan membantu Indonesia mencapai target mitigasi emisi gas karbon pada 2025.
Dalam perkembangan terakhir, salah satu NGO domestik Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) area Sumut, mengajukan seorang warga negara asing (WNA) dalam perkara gugatan terhadap Gubernur Sumatera Utara di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan. Serge Which yang berkewarganegaraan Belanda, merupakan pengajar di Liverpool John Moores University, Inggris, diajukan sebagai saksi terkait keberadaan orangutan untuk menggagalkan Amdal PLTA Batang Toru yang diterbitkan Gubernur Sumut.
Menyikapi ini, Pemprov Sumut secara resmi sudah mengajukan keberatan soal WNA jadi saksi di persidangan kepada PTUN Medan.
Menghemat Pengeluaran
Konflik yang terjadi mengiringi proyek Batang Toru ini pun menarik perhatian publik. Mengapa LSM lokal begitu bersemangat menjegal proyek ini? Padahal berdasarkan kajian resmi, kehadiran PLTA Batang Toru memberikan manfaat besar juga dari sisi ekonomi berupa penghematan devisa.
Keberadaan PLTA tersebut potensial menghemat pengeluaran pemerintah hingga US$ 400 juta per tahun karena tidak menggunakan bahan bakar fosil. PLTA berkapasitas 510 MW ini lebih ramah lingkungan karena merupakan pembangkit energi terbarukan.
Pembangunan PLTA Batang Toru menyerap lebih kurang 1.800 tenaga kerja selama pembangunan dan berpotensi menciptakan efek multiplier secara ekonomi, baik langsung maupun tidak, kepada penduduk serta sektor usaha formal dan informal di sekitar kawasan tersebut.
Dalam hal ini PLTA Batang Toru juga telah melakukan studi populasi orangutan dan satwa liar lainnya berkoordinasi dan dipandu Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) serta Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). BBKSDA, sesuai arahan Menteri LHK, bahkan telah membentuk tim monitoring untuk memastikan dampak pembangunan PLTA Batang Toru terhadap populasi orang utan dan satwa liar lainnya.
Lalu, apa sebenarnya yang dipermasalahkan? Begitu kira-kira pertanyaan masyarakat.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa kehadiran PLTA Batang Toru berpotensi mengurangi tagihan bahan bakar PLN. Apalagi selama ini PLN masih mengandalkan bahan bakar diesel dan gas. Banyak pihak mengakui bahwa harga gas di Sumatera Utara adalah yang tertinggi di Indonesia, seperti pernah diakui Johan Brien, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumut yang juga Ketua Asosiasi Perusahaan Pemakai Gas Indonesia (Apigas). Menurutnya, harga gas di Sumut masih menjadi yang termahal di Indonesia bahkan di dunia.
Di sisi lain, Presiden telah mengamanatkan agar harga gas industri diarahkan ke level US$ 6 per MMBtu sesuai Perpres Nomor 40 Tahun 2016. “Harga gas untuk semua sektor industri di Sumut masih di level US$ 9,95 per MMBtu, masih termahal di dunia,” katanya kepada Bisnis, Minggu (15/7.2018).
Kebijakan harga gas sebesar US$ 6 per MMBtu baru dinikmati tiga sektor industri yakni pupuk, baja dan petrokimia, khususnya perusahaan pelat merah. Adapun industri milik swasta dikatakan masih belum mendapat harga gas US$ 6 per MMBtu.
Itu harga gas untuk industri. Bagaimana harga gas untuk pembangkit listrik? Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan, pernah menyoroti mahalnya biaya distribusi gas di sejumlah tempat, salah satunya yang terjadi di Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) Belawan di Sumatera Utara. Hal yang diamini oleh PLN.
Seperti diungkapkan Direktur Pengadaan PLN, Supangkat Iwan, kepada media beberapa waktu lalu, biaya regasifikasi, transmisi, dan distribusi gas untuk PLTG ini mencapai lebih dari US$ 4 per MMBtu. Gas untuk PLTG Belawan berasal dari Tangguh di Papua, setelah diproses jadi LNG harganya sekitar US$ 6 per MMBtu.
LNG dikapalkan dengan biaya US$ 0,6 per MMBtu. Sampai di Terminal Penerimaan dan Regasifikasi LNG Arun, LNG diregasifikasi dengan biaya US$ 1,56 per MMBtu.
Kemudian gas dialirkan ke PLTG Belawan melalui pipa transmisi Arun-Belawan yang mengenakan tol fee sebesar US$ 2,53 per MSCF. Total biaya pengapalan, regasifikasi, dan transmisi sudah US$ 4,63 per MMBtu. Harga gas jadi di atas US$ 10 per MMBtu begitu sampai di PLTG Belawan.
Karena itulah, Jonan menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM baru yang membatasi margin keuntungan dari regasifikasi, penyaluran, dan penjualan gas. PLN mendukung penuh langkah ini demi listrik murah untuk rakyat.
Sebagaimana diketahui, sejak Maret 2015 PLTG Belawan telah berhasil menggunakan bahan bakar gas yang berasal dari gas LNG eks Lapangan Tangguh, Papua, yang kemudian diproses regasifikasi di Terminal LNG Arun, lalu disalurkan melalui pipa gas sepanjang lebih dari 300 km ke Belawan. Fasilitas regasifikasi Arun merupakan upaya pemerintah untuk memanfaatkan ulang aset. Di masa lalu, fasilitas tersebut digunakan untuk mengubah gas menjadi LNG, tetapi sejak 2015 digunakan untuk mengubah LNG menjadi gas.
Penggunaan gas tersebut membantu menurunkan biaya pokok penyediaan (BPP) Pembangkit dari sekitar Rp 2.926 per kWh menjadi Rp 1.255 per kWh. Untuk mendukung upaya penurunan BPP Sistem Kelistrikan Regional Sumatera lebih rendah lagi, PLN akan terus mencari peluang agar BPP Pembangkit di Pusat Listrik Belawan bisa lebih efisien.
Dan jawabannya ada pada pengoperasian PLTA Batang Toru.